Bolehkah Potong Kuku Sebelum Idul Adha? Simak Penjelasan Lengkapnya

7 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Sebentar lagi umat Islam akan merayakan Idul Adha, namun sampai saat ini sepertinya masih banyak muslim yang belum tahu tentang hukum memotong kuku sebelum Idul Adha. Hal seperti ini tentunya penting untuk diketahui.

Pertanyaan seputar "bolehkah potong kuku sebelum Idul Adha?" muncul setiap tahunnya. Tradisi Idul Adha dan ibadah kurban selalu diiringi dengan berbagai pertanyaan fikih, termasuk yang satu ini. Ketidakpastian hukum ini membuat banyak orang merasa bimbang, terutama bagi mereka yang ingin menjalankan ibadah kurban dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, memahami berbagai perspektif ulama menjadi sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan keraguan.

Tujuan utama artikel ini adalah memberikan pemahaman komprehensif tentang hukum memotong kuku sebelum Idul Adha. Dengan mengulas berbagai pendapat ulama, baik dari mazhab klasik maupun kontemporer, diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas dan dapat mengambil sikap yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. 

Lalu apakah diperbolehkan untuk memotoh kuku sebelum Idul Adha? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (15/5/2025).

Masjid Istiqlal akan menyembelih puluhan sapi dan belasan kambing. Penyembelihan akan dilakukan pada Senin Malam 12 September 2016

Asal Mula Perbedaan Pendapat Tentang Potong Kuku Sebelum Idul Adha

Perbedaan pendapat tentang potong kuku sebelum Idul Adha bermula dari hadits riwayat Ummu Salamah. Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadits, salah satunya berbunyi: "Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan individu di antara kamu hendak berkurban hewan ternak, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban." (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Hadits ini menjadi landasan utama perbedaan pendapat. Kata-kata "janganlah menyentuh rambut dan kulit" menjadi fokus interpretasi. Beberapa ulama menafsirkannya sebagai larangan memotong rambut dan kuku, sementara yang lain memiliki penafsiran berbeda. Perbedaan ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Muslim yang berbunyi: "Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah) dan kalian ingin berkurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya."

Hadits-hadits tersebut, yang diriwayatkan pada masa Rasulullah SAW, menunjukkan adanya larangan yang berkaitan dengan rambut dan kuku menjelang kurban. Namun, siapa yang menjadi subjek larangan tersebut—orang yang berkurban atau hewan kurbannya—tetap menjadi perdebatan di kalangan ulama hingga saat ini. Konteks historis hadits ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi misinterpretasi.

Pemahaman yang mendalam terhadap konteks sosial dan budaya pada masa Rasulullah SAW juga diperlukan untuk menafsirkan hadits dengan lebih akurat. Memahami latar belakang sejarah dan budaya dapat membantu kita memahami maksud sebenarnya dari hadits dan menghindari penafsiran yang keliru.

Penafsiran Ulama Tentang Subjek Larangan Potong Kuku Sebelum Idul Adha

Perbedaan penafsiran hadits Ummu Salamah melahirkan dua pendapat utama mengenai subjek larangan potong kuku dan rambut sebelum Idul Adha. Pendapat pertama menyatakan larangan tersebut ditujukan kepada orang yang hendak berkurban (shohibul qurban), sementara pendapat kedua berpendapat larangan tersebut ditujukan kepada hewan kurban itu sendiri.

Kedua pandangan ini memiliki dasar argumentasi yang kuat dan didukung oleh sejumlah ulama terkemuka. Memahami kedua perspektif ini penting untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang perdebatan ini. Berikut uraian lebih detail mengenai kedua pendapat tersebut.

Pendapat Pertama: Larangan untuk Shohibul Kurban

Pendapat pertama menyatakan bahwa larangan memotong kuku dan rambut sebelum Idul Adha ditujukan kepada orang yang hendak berkurban. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama terkemuka, di antaranya Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad, dan Imam Nawawi.

Mereka berpendapat bahwa larangan tersebut bertujuan untuk menjaga kesucian dan kesempurnaan diri sebelum melaksanakan ibadah kurban. Hal ini juga dikaitkan dengan keutamaan dan pahala yang akan diperoleh, seperti terbebas dari api neraka. Beberapa dalil hadits dan pendapat ulama digunakan untuk memperkuat argumentasi ini.

Hikmah di balik larangan ini, menurut sebagian ulama, adalah agar seluruh anggota tubuh shohibul qurban tetap utuh dan sempurna, sehingga kelak di akhirat akan terbebas dari siksa api neraka. Ini merupakan bentuk pengamalan sunnah Rasulullah SAW dan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pendapat ini menekankan pentingnya ketaatan literal terhadap hadits, meskipun beberapa ulama memberikan keringanan dalam kondisi tertentu, seperti kuku yang sangat panjang dan kotor.

Pendapat Kedua: Larangan untuk Hewan Kurban

Pendapat kedua berpendapat bahwa larangan memotong kuku dan rambut sebelum Idul Adha ditujukan kepada hewan kurban. Pendapat ini didukung oleh ulama seperti Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam kitabnya "At-Turuqus Shahiha fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah".

Kiai Ali Mustafa Yaqub berargumen bahwa hadits Ummu Salamah perlu dikaitkan dengan hadits lain yang menjelaskan bahwa bulu, kuku, dan kulit hewan kurban akan menjadi saksi di akhirat. Oleh karena itu, larangan tersebut bertujuan untuk menjaga kesempurnaan hewan kurban sebagai bentuk penghormatan.

Hadits riwayat Aisyah yang menyebutkan bahwa hewan kurban akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya, memperkuat argumentasi ini. Pendapat ini menekankan pentingnya menjaga kesucian dan kesempurnaan hewan kurban sebagai bentuk penghormatan dan ibadah.

Dengan demikian, menurut pendapat ini, memotong kuku dan rambut shohibul qurban sebelum Idul Adha tidaklah dilarang, selama tidak mengganggu kesucian dan kesempurnaan hewan kurban.

Status Hukum Potong Kuku Sebelum Idul Adha Menurut Berbagai Mazhab

Perbedaan pendapat tentang hukum potong kuku sebelum Idul Adha juga terlihat dalam berbagai mazhab fikih. Meskipun hadits Ummu Salamah menjadi rujukan utama, masing-masing mazhab memiliki penafsiran dan kesimpulan yang berbeda.

Memahami perbedaan pendapat ini penting untuk menghargai keragaman pemahaman dalam Islam. Berikut beberapa pendapat dari berbagai mazhab fikih terkait masalah ini:

Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa memotong kuku dan rambut bagi shohibul qurban sebelum Idul Adha hukumnya haram. Beliau berpegang teguh pada hadits Ummu Salamah dan menafsirkannya secara literal.

Larangan ini berlaku sejak awal bulan Dzulhijjah hingga selesai penyembelihan hewan kurban. Pendapat ini menekankan pentingnya ketaatan dan kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah SAW.

Imam Ahmad bin Hanbal memberikan penekanan pada pentingnya menjaga kesucian dan kesempurnaan diri sebelum melaksanakan ibadah kurban. Beliau berpendapat bahwa memotong kuku dan rambut dapat mengurangi keutamaan ibadah kurban.

Bagi penganut mazhab Hanbali, pendapat ini menjadi pedoman utama dalam menentukan sikap terkait potong kuku sebelum Idul Adha.

Pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik

Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak memotong kuku dan rambut sebelum Idul Adha hukumnya sunnah. Namun, jika shohibul qurban tetap memotongnya, maka hukumnya makruh.

Mereka menafsirkan hadits Ummu Salamah sebagai anjuran, bukan kewajiban. Pendapat ini memberikan kelonggaran dan fleksibilitas dalam beribadah.

Meskipun hukumnya makruh, Imam Syafi'i dan Imam Malik tidak mengharamkan potong kuku sebelum Idul Adha. Mereka menekankan pentingnya niat dan keikhlasan dalam beribadah.

Pendapat ini memberikan ruang bagi perbedaan pemahaman dan penerapan dalam praktik ibadah kurban.

Pendapat Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa memotong kuku dan rambut sebelum Idul Adha hukumnya mubah (boleh). Beliau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang makruh atau sunnah.

Pendapat ini didasarkan pada penafsiran yang lebih fleksibel terhadap hadits Ummu Salamah. Imam Abu Hanifah menekankan pentingnya kemudahan dan kelonggaran dalam beribadah.

Pendapat ini memberikan kebebasan kepada shohibul qurban untuk menentukan sikapnya sendiri tanpa merasa terbebani oleh larangan yang ketat. Hal ini sesuai dengan prinsip Islam yang mengedepankan kemudahan dan keadilan.

Bagi penganut mazhab Hanafi, pendapat ini menjadi pedoman utama dalam menentukan sikap terkait potong kuku sebelum Idul Adha.

Pendapat Ulama Kontemporer

Ulama kontemporer memiliki berbagai pandangan yang beragam. Beberapa ulama cenderung mengikuti pendapat mazhab tertentu, sementara yang lain memberikan penafsiran yang lebih kontekstual.

Majelis Tarjih Muhammadiyah, misalnya, memberikan pandangannya sendiri terkait masalah ini. Begitu pula dengan Syekh Abdullah Al-Jibrin dan fatwa Lajnah Ad-Daimah. Ulama Indonesia kontemporer juga memiliki pendapat yang beragam.

Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa pemahaman fikih terus berkembang dan beradaptasi dengan konteks zaman. Penting untuk merujuk pada ulama yang terpercaya dan memahami dasar argumentasi mereka.

Ulama kontemporer seringkali menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi dan konteks masing-masing individu dalam mengambil keputusan terkait hukum potong kuku sebelum Idul Adha.

Hikmah dan Makna di Balik Larangan Potong Kuku Sebelum Idul Adha

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang hukumnya, larangan potong kuku dan rambut sebelum Idul Adha mengandung hikmah dan makna spiritual yang mendalam.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, misalnya, menjelaskan bahwa setiap perintah dan larangan dari Rasulullah SAW pasti mengandung hikmah. Beliau juga mengaitkannya dengan ibadah haji dan umrah.

Hikmah lain yang sering dikemukakan adalah agar seluruh anggota tubuh shohibul qurban tetap lengkap, sehingga kelak di akhirat akan dibebaskan dari api neraka. Ini merupakan bentuk pengamalan sunnah Rasulullah SAW dan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ada juga yang berpendapat bahwa hikmahnya adalah membiarkan rambut dan kuku tetap ada dan dipotong bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban di sisi Allah. Ini merupakan bentuk pengorbanan dan penyerahan diri kepada Allah SWT.

Refleksi spiritual dari larangan ini adalah untuk meningkatkan ketakwaan dan keikhlasan dalam beribadah. Dengan menjaga kesucian dan kesempurnaan diri, kita menunjukkan kesiapan dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah kurban.

Batasan Waktu Larangan Potong Kuku Sebelum Idul Adha

Batasan waktu larangan potong kuku dan rambut sebelum Idul Adha juga menjadi perdebatan. Sebagian ulama mengaitkannya dengan melihat hilal Dzulhijjah, sementara yang lain mengaitkannya dengan selesainya penyembelihan hewan kurban.

Waktu Tasyrik (hari ke-11, 12, dan 13 Dzulhijjah) juga menjadi pertimbangan dalam menentukan batasan waktu. Beberapa mazhab memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini.

Perbedaan batasan waktu antarmazhab menunjukkan keragaman pemahaman dan penerapan dalam praktik ibadah kurban. Penting untuk memahami perbedaan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Penting untuk merujuk pada ulama yang terpercaya dan memahami dasar argumentasi mereka dalam menentukan batasan waktu larangan potong kuku dan rambut sebelum Idul Adha.

Bagaimana Jika Terlanjur Potong Kuku Sebelum Idul Adha?

Jika terlanjur memotong kuku sebelum Idul Adha, keabsahan kurban tetap sah. Tidak ada kafarat atau pengganti yang perlu dilakukan.

Berbagai mazhab memiliki pandangan yang berbeda, tetapi umumnya tidak ada konsekuensi yang merugikan bagi shohibul qurban. Ini menunjukkan keringanan dan kemudahan dalam beribadah.

Namun, hal ini tidak berarti kita boleh mengabaikan hukum agama. Usaha untuk memahami dan menaati hukum agama tetap penting.

Bagi yang tidak mengetahui hukumnya, tidak perlu merasa khawatir atau berdosa. Niat dan keikhlasan dalam beribadah tetap menjadi hal yang utama.

Pengecualian dari Larangan Potong Kuku Sebelum Idul Adha

Terdapat beberapa pengecualian dari larangan potong kuku sebelum Idul Adha. Kondisi darurat, seperti kuku yang sangat panjang dan mengganggu aktivitas sehari-hari, diperbolehkan untuk dipotong.

Kuku atau rambut yang kotor atau berkutu juga dapat menjadi alasan untuk memotongnya. Ini didasarkan pada prinsip menjaga kebersihan dan kesehatan.

Tuntutan pekerjaan dan profesi tertentu juga dapat menjadi pengecualian. Misalnya, dokter atau perawat mungkin perlu memotong kukunya untuk alasan kebersihan dan kesehatan.

Orang yang tidak berkurban namun keluarganya berkurban, tidak terikat oleh larangan ini. Larangan tersebut khusus ditujukan bagi mereka yang hendak berkurban.

Relevansi Hukum Potong Kuku Sebelum Idul Adha dalam Konteks Modern

Dalam konteks modern, perlu dipertimbangkan prinsip kemudahan beragama (taysir) dan tujuan syariat (maqashid syariah) dalam memahami hukum potong kuku sebelum Idul Adha.

Kita perlu menyeimbangkan antara ketaatan literal terhadap hadits dan pemahaman substansial dari tujuan syariat. Fokus utama tetap pada esensi ibadah kurban, yaitu keikhlasan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Ulama kontemporer seringkali menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi dan konteks masing-masing individu dalam mengambil keputusan terkait hukum potong kuku sebelum Idul Adha.

Dengan memahami berbagai perspektif dan prinsip-prinsip tersebut, kita dapat mengambil sikap yang bijak dan sesuai dengan konteks zaman tanpa mengabaikan esensi ibadah kurban.

Hukum memotong kuku sebelum Idul Adha masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan, makruh, mubah, dan bahkan menganggapnya sunnah. Penting untuk memahami berbagai pendapat dan argumentasi yang ada.

Rekomendasi terbaik adalah mengambil sikap ihtiyat (kehati-hatian) dengan tidak memotong kuku dan rambut sejak awal Dzulhijjah hingga selesai berkurban. Namun, jika terpaksa memotongnya karena alasan tertentu, keabsahan kurban tetap terjaga. Yang terpenting adalah niat dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah kurban.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |