Dosen dan Peneliti UII Ungkap Implikasi Bank Indonesia Turunkan BI Rate

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan peneliti ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengungkapkan sejumlah implikasi dari kebijakan Bank Indonesia (BI) mengambil langkah pelonggaran moneter. Menurut Listya keputusan ini bukan hanya peristiwa teknis kebijakan, melainkan sinyal makroekonomi yang mempengaruhi berbagai sektor ekonomi.

“Sektor riil menjadi yang paling rentan dan sekaligus paling diharapkan mendapat dorongan dari langkah pelonggaran ini,” kata Listya dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Jumat, 23 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun dalam Rapat Dewan Gubernur atau RDG pada 20–21 Mei 2025, BI mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50 persen. Bersamaan dengan itu, suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility masing-masing diturunkan menjadi 4,75 persen dan 6,25 persen.

Listya mengatakan langkah pelonggaran moneter idealnya memberikan tiga efek utama bagi perekonomian: penurunan biaya pinjaman, peningkatan konsumsi dan investasi, serta stabilitas sistem keuangan. Ketiganya saling terkait dan sangat bergantung pada seberapa dalam struktur intermediasi keuangan nasional dapat merespons kebijakan secara cepat dan efisien.

“Namun, seberapa besar daya dorong tersebut bergantung pada kondisi struktural ekonomi nasional dan efektivitas transmisi kebijakan moneter,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini.

Berikut implikasi dari kebijakan BI mengambil langkah pelonggaran moneter terhadap berbagai sektor ekonomi:

1. Konsumsi Rumah Tangga dan Daya Beli

Menurut Listya, konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menjadi kunci dalam pemulihan ekonomi domestik. Teori Keynesian menekankan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan disposabel dan ekspektasi masa depan.

“Ketika suku bunga turun, secara teoritis, beban cicilan konsumen menjadi lebih ringan, sehingga pendapatan yang dapat dibelanjakan meningkat,” kata dia.

Namun, dalam kenyataannya, efek ini tidak bersifat langsung dan universal. Banyak rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki akses ke kredit formal. Inilah yang disebut sebagai permasalahan inklusi keuangan. Dengan lebih dari 50 juta pelaku ekonomi yang masih berada di sektor informal, transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga menjadi kurang efektif terhadap kelompok ini.

“Untuk itu, penurunan BI Rate perlu dilengkapi dengan strategi fiskal dan keuangan mikro yang mampu memperluas akses kredit konsumtif maupun produktif ke kelompok menengah bawah, agar kebijakan moneter berdampak nyata terhadap konsumsi agregat,” kata Listya menambahkan.

2. Investasi Swasta dan Iklim Usaha

Dari sisi dunia usaha, Listya mengatakan, penurunan suku bunga menjadi angin segar bagi sektor yang padat modal dan berorientasi ekspansi. Teori Neoklasik menyatakan bahwa investasi meningkat ketika biaya modal turun, dan suku bunga adalah salah satu harga modal utama.

“Namun, keputusan investasi tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi juga ekspektasi permintaan dan kepastian regulasi. Dalam konteks Indonesia, banyak investor baik domestik maupun asing, masih mempertimbangkan faktor non-moneter seperti reformasi birokrasi, kepastian hukum, dan stabilitas politik,” katanya.

Dengan demikian, kata dia, pelonggaran moneter hanya akan menjadi katalis, bukan motor utama. Pemerintah dan otoritas fiskal perlu bekerja simultan untuk memperbaiki iklim usaha, mempercepat realisasi belanja infrastruktur, serta mendorong reformasi struktural agar sektor riil benar-benar merespons dengan peningkatan investasi.

3. Perbankan dan Transmisi Kredit

Menurut Listya, salah satu kanal utama transmisi kebijakan moneter adalah sistem perbankan. Ketika BI Rate turun, idealnya suku bunga simpanan dan kredit ikut turun, sehingga mendorong penyaluran kredit. Namun, dalam praktiknya, perbankan sering kali lambat merespons.

“Ada yang menyebutnya sebagai “sticky interest rate”, yaitu resistensi bank menyesuaikan bunga kredit karena berbagai alasan, mulai dari struktur biaya, risiko kredit, hingga preferensi margin laba,” kata dia.

Listya mengungkapkan, data Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menunjukkan bahwa meskipun suku bunga acuan telah mengalami penurunan beberapa kali sejak 2023, penurunan suku bunga kredit tidak selalu proporsional. Hal ini menunjukkan adanya bottleneck dalam transmisi moneter.

4. Stabilitas Makro dan Ekspektasi Inflasi

Listya menjelaskan bahwa setiap pelonggaran moneter membawa risiko terhadap stabilitas makroekonomi, terutama jika ekspektasi inflasi tidak terjaga. Dalam kerangka kerangka Expectations-Augmented Phillips Curve, inflasi tidak hanya ditentukan oleh kesenjangan output (output gap), tetapi juga oleh ekspektasi inflasi.

“Jika pelaku ekonomi menilai BI terlalu agresif dalam menurunkan suku bunga, mereka mungkin memperkirakan inflasi akan naik, yang dapat memicu perilaku konsumsi berlebihan atau spekulatif,” ujar Listya.

Namun, menurut Listya, dalam konteks Indonesia saat ini, inflasi masih terkendali, dan ekspektasi inflasi jangka menengah tetap dalam koridor target. Ini memberikan ruang bagi BI untuk melakukan calibrated easing tanpa merusak kredibilitas Inflation Targeting Framework (ITF) yang telah dibangun sejak 2005.

Meski demikian, risiko global tetap perlu diwaspadai. Volatilitas harga pangan dan energi, tekanan dari normalisasi kebijakan moneter negara maju, serta ketegangan geopolitik, semuanya bisa menjadi pemicu imported inflation. Oleh karena itu, kebijakan moneter harus tetap fleksibel namun berhati-hati.

Lebih lanjut, Listya mengatakan ekonomi bukan sekadar soal angka suku bunga, tetapi bagaimana angka itu memengaruhi perilaku. Jika konsumen tetap takut belanja, jika pelaku usaha tetap ragu ekspansi, jika bank tetap enggan menyalurkan kredit, maka pelonggaran moneter hanya akan menjadi catatan di rapat dewan gubernur, bukan penggerak perekonomian nasional.

“Oleh karena itu, langkah BI ini harus dibaca sebagai undangan terbuka kepada seluruh aktor kebijakan: ayo bergerak bersama, agar pemulihan bukan sekadar narasi, tetapi realitas yang merata dan berkelanjutan,” kata Listya.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |