TEMPO.CO, Jakarta - Lampu temaram menemani suara aktor Syam Anchoe Amar dan Ruth Marini membacakan fragmen novel Manurung, Sebuah Montase karya Goenawan Mohamad. Kata-kata mereka membawa para tamu melintasi lanskap Eropa pada 1970-an hingga Bekasi yang muram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya dibacakan Ruth Marini, yaitu Cerita Supiyati Manurung, dikirim dari Magelang, Mei 1968. “Lewat tengah malam, Darwati, seorang perempuan tua penduduk Jetis, melihat bayang-bayang orang, puluhan jumlahnya, berbaris keluar gua. Rambut mereka putih, muka mereka putih. Mereka berjalan pelan, sangat pelan,” ucap Ruth dengan suara lirih.
Kata Goenawan Soal Novel Manurung
Usai diluncurkan pertama kali di Yogyakarta, novel Manurung, Sebuah Montase kembali menyapa publik. Kali ini Jakarta menjadi tuan rumah peluncurannya, digelar di ruang teater Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, pada Sabtu, 26 April 2025.
Acara ini juga dilanjutkan dengan sesi tanda tangan oleh Goenawan. Penyair kelahiran 1941 itu memang hadir langsung dalam peluncuran. Ia mengungkapkan rasa senangnya karena ada sesi pembacaan fragmen novel, membuat cerita terasa hidup. "Buku ini butuh riset yang sangat intensif. Bekasi pun saya riset," ujarnya, bercerita tentang proses penggarapan.
Ruth Marini (kiri) dan Syam Ancoe Amar pada peluncuran novel “Manurung Sebuah Montase” karya penyair Goenawan Mohamad di Teater Utan Kayu, Jakarta, 26 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Menulis novel ini bukan perkara mudah. Goenawan mengaku hampir menyerah karena harus membagi perhatian antara menulis dan proyek seni lukisnya. Dalam menulis Manurung, Goenawan dibantu banyak pihak. Salah satunya adalah istri temannya yang pernah tinggal lama di Eropa dan mengalami situasi mirip dengan tokoh-tokoh dalam novel.
Goenawan juga mengenang asal mula ketertarikannya pada riset untuk novel. Ia tergerak setelah mendengar kritik dari seorang asal Amerika yang menyebut novel Indonesia minim riset, hanya mengandalkan tema dan alur.
Penyair Goenawan Mohamad (tengah) memberikan sambutan pada peluncuran novel “Manurung Sebuah Montase” karya penyair Goenawan Mohamad di Teater Utan Kayu, Jakarta, 26 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Tafsir Ayu Utami: Kemurungan dalam Manurung
Penulis novel Ayu Utami memberikan pembacaan kritis terhadap Manurung. Menurut Ayu, suasana utama dalam novel ini adalah renungan murung, khas gaya Goenawan. “Ada kesadaran bahwa bahasa itu tidak memadai untuk mencapai kebenaran, pengetahuan, dan kekuasaan,” ucap penulis Saman itu.
Ia merinci, kemurungan dalam Manurung berbeda dengan novel depresif yang tokohnya terperangkap dalam kebuntuan. Di novel ini, para tokoh tetap bergerak meski diliputi luka. "Itulah bedanya saya kira, dan kenapa kalau saya lebih senang novel murung daripada novel depresif,” ungkapnya. Ayu merasa lebih menyukai novel murung semacam ini.
Peluncuran novel “Manurung Sebuah Montase” karya penyair Goenawan Mohamad di Teater Utan Kayu, Jakarta, 26 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Novel Manurung mengambil latar masa Perang Dingin, rentang 1968-1971. Ayu menilai tema ini penting diingat. Menurut dia, Perang Dingin, yang selama ini dianggap kemenangan demokrasi, justru juga melahirkan perang-perang baru, kekejaman baru, dan ketimpangan global atas nama agama, hingga etnisitas.
Tentang Novel Manurung
Manurung, Sebuah Montase adalah novel kedua Goenawan Mohamad tentang ekses Perang Dingin setelah Surti + Tiga Sawunggaling (2018). Kisah Manurung mengikuti Karel Manurung, seorang arsitek Indonesia kelahiran Semarang, yang bekerja di lembaga rekonstruksi Jerman Timur. Diam-diam, Karel menjadi informan dinas rahasia Stasi untuk mencari adiknya, Yosef Manurung, yang hilang saat demonstrasi antikomunis di Praha.
Yosef saat itu adalah mahasiswa di Brno University of Technology. Latar keluarga Karel berjejak pada sejarah Indonesia: ayahnya, Binsar Manurung, dipenjara di Nusakambangan karena dianggap menyimpang dari garis Partai Komunis Indonesia (PKI), lalu meninggal di sana. Ibu dan adik perempuannya hidup terlunta-lunta menjadi pelukis dan penulis di Semarang.
Alur Manurung berpindah-pindah antara Eropa dan Indonesia, diceritakan melalui surat-surat Supiyati dan Vilma Manurung. Di dalam kisah ini, cerita-cerita kecil bercabang, membuat struktur novel terasa seperti montase. Fragmen-fragmen cerita memperkenalkan sejumlah tokoh figuran: Evinka, Kristine, Izidor, Sodik, Suwarso, Tati, Malakis, Mukrim, Atina Alamudi, hingga Fahid Hemedani—seorang eksil Partai Komunis Iran yang bekerja bersama Karel.