TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksanaan EESA Summit digelar sebagai ruang kolaborasi antara Indonesia dengan China untuk mewujudkan transisi energi, Jakarta, pada Selasa 29 April 2025. Dilansir dari Antara, 29 April 2025, Secretary General EESA Rene Duan menyampaikan bila EESA Summit dapat menjembatani pelaku industri di kedua negara untuk mewujudkan sistem energi masa depan yang berkelanjutan, khususnya emisi nol karbon.
“Melalui EESA Summit, kami ingin menjadi jembatan bagi kolaborasi yang lebih erat antara pelaku industri di China dan Indonesia, guna mewujudkan sistem energi masa depan yang berkelanjutan dan saling menguntungkan,” kata Rene.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, Indonesia diketahui menargetkan kontribusi energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan 30 persen pada 2030 dalam bauran energi nasional. Komitmen tersebut ditegaskan melalui janji global Indonesia yang selalu digaungkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mencapai emisi nol atau net-zero emissions (NZE) dan dekarbonisasi ekonomi pada 2060.
Pengertian Emisi Nol atau Net-Zero Emissions
Dilansir dari laman Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian ESDM, NZE atau yang dikenal pula sebagai emisi nol atau nol emisi karbon adalah kondisi saat jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Untuk mencapai emisi nol tersebut, maka diperlukan transisi dari sistem energi yang digunakan saat ini menuju ke sistem energi bersih untuk mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam.
Aspek yang harus diperhatikan dalam mewujudkan emisi nol adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia dalam kurun waktu tertentu atau yang dikenal sebagai jejak karbon. Jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan di bumi, seperti kekeringan dan kekurangan sumber air bersih, timbul cuaca ekstrem dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, serta berbagai kerusakan alam lainnya.
NZE menjadi istilah populer yang dikenalkan dalam Paris Climate Agreement pada 2015. Kegiatan tersebut ditujukan untuk menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Target Emisi Nol atau Net-Zero Emissions
Menurut informasi dari laman resmi Kementerian ESDM, pemerintah telah mencanangkan target NZE pada 2060 atau lebih cepat. Saat ini, pihak ESDM perlu mengejar target tersebut mengingat sektor energi masih memegang peran paling besar dalam menghasilkan emisi gas karbon.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan bahwa pemerintah memiliki strategi untuk mengatasi lonjakan jejak karbon, yaitu dengan melakukan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) bersama Dewan Energi Nasional (DEN).
"Revisi KEN untuk menjawab dan menyusun langkah apa yang diperlukan sehingga target NZE bisa kita lakukan bersama dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip bahwa (revisi KEN) tidak mengganggu pembangunan yang sedang sekarang berjalan," kata Dadan pada Jumat, 29 September 2023.
Strategi lainnya yang tengah dilakukan adalah mendorong pemanfaatan peningkatan pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai sumber energi listrik serta dengan melakukan efisiensi energi.
“Ini yang terus kita dorong bersama dengan PLN secara khusus, untuk pembangkit ketenagalistrikan kita mempunyai RUPTL di PLN yang memberikan fokus kepada peningkatan pemanfaatan energi terbarukan," katanya.
Dadan mengatakan bila strategi pemanfaatan peningkatan EBT merupakan upaya jangka panjang serta tidak dapat dilihat dari segi banyaknya pembangkit EBT yang dibangun, namun juga harus menggerakan roda perekonomian dan sisi industri sambil terus mendorong sumber daya manusia agar dapat mengelola pembangkit listrik yang telah ada.