TEMPO.CO, Pekanbaru - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa, Sekretaris Daerah Indra Pomi Nasution, dan Plt Kepala Bagian Umum Novin Karmila melakukan korupsi dan menerima gratifikasi senilai Rp 8,9 miliar. Dakwaan dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru, Selasa, 29 April 2025.
Ketiganya didakwa melanggar Pasal 12 huruf F juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan Pasal 64 ayat 1 KUHP, serta Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para terdakwa menerima dan memotong Ganti Uang (GU) dan Tambahan Uang (TU) dari APBD dan APBD Perubahan Kota Pekanbaru untuk kepentingan pribadi. “Seolah-olah kas umum bersumber dari APBD dan APBD-P Pekanbaru punya utang pada para terdakwa. Padahal pemotongan dan penerimaan uang tersebut bukan utang,” kata JPU Meyer Volmar Simanjuntak saat membaca dakwaan.
Menurut dakwaan, praktik tersebut berlangsung sepanjang Mei hingga November 2024. Risnandar Mahiwa disebut menerima Rp 2,9 miliar, Indra Pomi Nasution Rp 2,4 miliar, dan Novin Karmila Rp 2,03 miliar. Seorang ajudan Risnandar, Nugroho Dwi Triputranto, juga disebut menerima Rp 1,6 miliar namun tidak dijerat sebagai tersangka.
“Seolah-olah kas umum bersumber dari APBD dan APBD-P Pekanbaru punya utang pada para terdakwa. Padahal pemotongan dan penerimaan uang tersebut bukan hutang,” jelas JPU Meyer Volmar Simanjuntak, saat baca dakwaan.
Selama Risnandar menjabat sebagai Pj Wali Kota, Bagian Umum Sekretariat Daerah mencairkan GU sebesar Rp 26,5 miliar dan TU Rp 11,2 miliar. JPU menyebut pencairan dana itu selalu disertai arahan untuk pemotongan dan pembagian uang kepada para terdakwa.
Setiap pencairan GU dan TU, Novin Karmila melapor kepada Risnandar Mahiwa, yang kemudian meminta Indra Pomi Nasution menandatangani perintah pembayaran. Risnandar dan Indra juga menginstruksikan Hariyanto, Kepala Bidang Perbendaharaan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pekanbaru, agar pencairan diprioritaskan. “Hal ini dikarenakan, baik Risnandar Mahiwa maupun Indra Pomi, mengetahui setelah uang itu cair, mereka menerima uang bagian masing-masing dari hasil pemotongan GU atau TU," ucap Meyer.
Setelah dana cair, Novin memerintahkan bendahara untuk memotong sebagian uang, lalu membagikannya kepada Risnandar, Indra, dirinya sendiri, serta ajudan Risnandar, Nugroho Dwi Triputranto. Sebagian uang diterima tunai maupun lewat transfer.
Selain memotong anggaran, para terdakwa juga menerima gratifikasi dari sejumlah ASN di lingkungan Pemkot Pekanbaru. Risnandar menerima Rp 895 juta, satu tas Bally senilai Rp 8,5 juta, dan dua kemeja seharga Rp 2,5 juta. Total Rp 906 juta. Indra menerima Rp 1,2 miliar, sedangkan Novin mendapat Rp 300 juta. “Perbuatan para terdakwa bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata JPU Wahyu Dwi Oktafianto.
Ketiganya menerima dan membenarkan dakwaan tanpa mengajukan eksepsi. Mereka mengakui kesalahan masing-masing di hadapan majelis hakim. “Saya memang telah melanggar sumpah dan janji jabatan,” ujar Risnandar. Indra menyatakan penyesalan, dan Novin menyampaikan pengakuan serupa.
Sidang akan dilanjutkan Selasa, 6 Mei 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi. JPU akan menghadirkan empat hingga lima orang dari total 67 saksi dan tiga ahli, yang dipilih berdasarkan relevansi.