TEMPO.CO, Jakarta - Nama Kiai Haji Abbas Abdul Jamil atau yang akrab dikenal sebagai Kiai Abbas Buntet tengah diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh berbagai kalangan, terutama keluarga besar Buntet Pesantren dan Nahdlatul Ulama.
“Gelar ini menjadi penting bukan untuk beliau, tetapi bagi kita semua dalam menanamkan semangat kebangsaan dan kepahlawanan kepada generasi penerus,” kata KH Mustahdi Abdullah Abbas, cucu Kiai Abbas Buntet, dalam acara istighosah dan seminar di Pendopo Kabupaten Cirebon, Sabtu, 17 Mei 2025, seperti dilansir dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singa dari Barat dalam Pertempuran Surabaya
Kiai Abbas dikenal luas sebagai komandan laskar santri dari Cirebon dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ia memenuhi seruan Resolusi Jihad pemimpin Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari dan memimpin pasukan Hizbullah untuk mengusir penjajah. Karena keberaniannya, ia disebut sebagai Macan dari Barat, panggilan kehormatan dari KH Hasyim Asy’ari.
Cerita tentang keberanian dan karomahnya hidup dalam tradisi lisan masyarakat. Dikutip dari nu.or.id, beberapa riwayat menyebut Kiai Abbas mampu menjatuhkan pesawat tempur Sekutu hanya dengan sorban, tasbih, atau bahkan kacang hijau yang dilemparkannya.
Namun, yang tak kalah penting, ia juga seorang ahli bela diri. Dalam sebuah kisah yang diceritakan KH Ahmad Zaeni Hasan, Kiai Abbas mampu melumpuhkan seorang penodong bersenjata tajam hanya dengan satu gerakan cepat, meskipun saat itu tangannya tengah memegang Al-Qur’an.
Pelopor Pendidikan Pesantren Modern
Dikutip dari laman NU, Selain sebagai pejuang, Kiai Abbas merupakan pendidik ulung. Ia menjadi pelopor sistem klasikal madrasah di lingkungan pesantren sejak 1920-an, masa di mana metode tersebut masih belum diterima luas. Ia juga berani mengintegrasikan pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren, menjadikan Buntet Pesantren sebagai salah satu pelopor pendidikan Islam yang progresif di Indonesia.
“Selain itu beliau memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum pesantren yang kala itu masih didominasi kajian kitab tradisional,” jelas KH Mustahdi.
Beberapa muridnya kelak menjadi tokoh nasional, seperti Prof. KH Ibrahim Hosen, pakar perbandingan mazhab fiqih dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta KH Tb Sholeh Ma’mun yang bersama KH Wahid Hasyim mendirikan Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQH NU).
Kiai Multidisipliner
Kiai Abbas tidak hanya menguasai fiqih dan tafsir, tetapi juga aktif dalam dunia tarekat. Ia dikenal sebagai Mursyid Tarekat Syatariyah, dengan silsilah keilmuan dan spiritual yang bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Ia juga disebut sebagai Muqaddam Tarekat Tijaniyah, sebagaimana tercantum dalam ijazah pengangkatan KH Muslih dari Jepara.
Dalam bidang qiraat, Kiai Abbas pernah mengajarkan Matan Asy-Syatibiyah kepada ulama Banten. Bahkan dengan tawadhu luar biasa, ia mengambil sanad bacaan Al-Quran dari salah satu muridnya sendiri, KH Tb Sholeh Ma’mun. Ini menunjukkan kerendahan hati yang menjadi ciri khas Kiai Abbas.
Rihlah keilmuannya melintasi banyak pondok di Jawa hingga ke Makkah, tempat ia berguru kepada ulama besar seperti Syekh Mahfudz Termas. Syekh Yasin al-Fadani dalam kitab Kifayatul Mustafid menyebut Kiai Abbas sebagai salah satu ulama besar yang lahir dari bimbingan Syekh Mahfudz.
Peran penting pesantren dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan sering tak tercatat dalam sejarah resmi. Dalam hal ini, Kiai Abbas adalah contoh nyata. Anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), M. Fathi Royyani, menyebut bahwa dokumen pengusulan Kiai Abbas telah lengkap secara administratif.
Menurut Prof. KH Asep Saifuddin Chalim, pengusulan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional sudah sangat kuat dari sisi dokumentasi maupun kontribusi sejarah. Nama Kiai Abbas bahkan sudah diabadikan dalam nama masjid, sekolah, hingga asrama haji.
“Dari semua tokoh yang pernah diusulkan, dokumen untuk Kiai Abbas adalah yang paling lengkap,” kata Asep.
Pengakuan terhadap Kiai Abbas membuka kembali ruang untuk menghargai kontribusi pesantren dalam sejarah nasional. “Kalau dulu beliau memulai perjuangan, maka tugas kita hari ini adalah melanjutkannya,”” ujar KH Mustahdi.