TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil mantan calon Wakil Wali Kota Bandarlampung Aryodhia Febriansyah (AFS) pada Jumat, 2 Mei 2025. Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan pemanggilan tersebut karena yang bersangkutan akan dimintai keterangan soal kasus dugaan korupsi pengadaan lahan proyek Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) pada tahun anggaran 2018—2020.
Tessa menyampaikan bahwa penanganan kasus korupsi terkait JTTS sudah mendekati tahap akhir. Menurut dia, pemanggilan AFS dilakukan untuk melengkapi dan memperkuat berkas perkara, sesuai dengan permintaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta tim jaksa penuntut umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sepanjang pengetahuan saya, untuk perkara tersebut sudah hampir rampung," kata Tessa di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Namun ia belum bisa membeberkan keterkaitan antara AFS dengan kasus JTTS ini. Pasalnya, kata dia, hal tersebut masih menjadi materi penyidikan yang belum bisa dibuka saat ini.
"Semua saksi yang dipanggil ke KPK pasti ada hal yang perlu dikonfirmasi, baik itu keterangan saksi yang lain yang perlu dikonfirmasi kepada saksi tersebut maupun alat bukti, mulai dari surat, dokumen, maupun petunjuk lainnya," ujar dia.
Selain Aryodhia, KPK juga memanggil dua pensiunan secara bersamaan, yakni Achmad Yahya dan N. Andriansyah Yahya, untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, pada kasus ini, KPK telah menyita 65 bidang tanah yang berada di Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. "KPK melakukan serangkaian tindakan penyidikan berupa penyitaan tanah sebanyak 65 bidang yang berlokasi di Kalianda, Lampung Selatan," ucap Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu, 30 April 2025.
Dia mengatakan penyitaan 65 bidang tanah itu merupakan hasil penyidikan yang dilakukan oleh lembaganya. KPK melakukan kegiatan itu pada 14 hingga 15 April 2025, untuk menindak kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
"Untuk diketahui bahwa ke-65 bidang tersebut, mayoritas merupakan lahan milik para petani," kata dia.
Tessa mengatakan kejadian ini bermula pada 2019. Saat itu, 65 bidang tanah milik para petani dibeli oleh para tersangka. Para petani, kata dia, baru mendapatkan uang muka sebesar 5 hingga 20 persen dari para pelaku korupsi pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans-Sumatera.
"Mereka (petani) baru dibayarkan oleh para tersangka sebatas uang muka di tahun 2019 dengan kisaran rata-rata sebesar 5 sampai dengan 20 persen," ucap Tessa.
Adapun uang yang digunakan para tersangka untuk membayar uang muka itu berasal dari hasil dugaan tindak pidana korupsi. Tessa mengatakan hingga saat ini para petani tidak bisa menjual 65 bidang tanah itu kepada pihak lain. Sebab, kata dia, surat-surat kepemilikan tanah itu dikuasai oleh notaris.
"Sudah hampir enam tahun tidak ada kepastian atau kelanjutan atas pembayaran lahan-lahan tersebut. Di satu sisi para petani tidak bisa menjual tanah tersebut kepada pihak lain karena selama ini surat-surat kepemilikan tanah mereka dikuasai atau dipegang oleh pihak notaris," ujarnya.
Para petani, kata Tessa, juga tidak dapat mengembalikan uang muka yang telah mereka dapatkan. Sebab, pemilik lahan itu tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membayar uang muka tersebut.
"Di sisi lainnya para petani tersebut juga tidak bisa mengembalikan uang muka yang telah mereka terima mengingat kondisi ketidakmampuan ekonomi mereka," kata Tessa.
Meski begitu, para petani tetap memanfaatkan 65 bidang tanah itu untuk menanam jagung. Berdasarkan hasil penyidikan, kata Tessa, KPK akhirnya memutuskan untuk menyita 65 bidang tanah serta sejumlah surat kepemilikan tanah yang berada di notaris untuk kepastian hukum atas tanah tersebut.
Adapun penyitaan ini agar KPK dapat meminta kepada pengadilan untuk memutus tanah dan surat-surat itu dapat dikembalikan kepada para petani. Termasuk, kata Tessa, tanpa pengembalian uang muka yang pernah diterima oleh para petani.