TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan Head Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY) sebagai tersangka kasus dugaan suap Rp 60 miliar kepada hakim agar memberikan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau korupsi CPO di Pengadilan Jakarta Pusat.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Syafei yang menyediakan uang suap tersebut. Ia menjadi tersangka kedelapan dalam kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qohar mengungkapkan, pemberian suap itu berawal ketika tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bertemu dengan tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat atau penasihat korporasi dalam kasus korupsi CPO dengan terdakwa tiga korporasi yaitu PT Wilmar Group, Pertama Hijau Group dan Musim Mas Group..
“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, 15 April 2025, seperti dikutip Antara.
Wahyu Gunawan, meski bertugas di PN Jakarta Utara, bisa menjadi makelar kasus ini karena ia orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Hasil pertemuan dengan Wahyu Gunawan tersebut lantas disampaikan oleh Ariyanto kepada tersangka MS (Marcella Santoso) selaku advokat tersangka korporasi yang kemudian menemui Syafei selaku Head Social Security Legal PT Wilmar Group di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan.
“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” kata Qohar.
Menurut Qohar, sekitar dua pekan kemudian, Ariyanto kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan yang menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto pun menyampaikan kepada Marcella yang kembali menemui Syafei di rumah makan yang sama.
Dalam pertemuan tersebut, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi adalah sebesar Rp20 miliar.
Menindaklanjuti hal tersebut, tersangka Arianto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta yang pada saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur.
Arif dalam pertemuan itu mengatakan bahwa perkara korupsi CPO tersebut tidak dapat diputus bebas, tetapi bisa diputus lepas (ontslag). MAN pun meminta agar uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga totalnya menjadi Rp60 miliar.
Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella yang menyampaikannya kepada Syafei.
“MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” kata Qohar.
Sekitar tiga hari kemudian, Syafei mengatakan bahwa uang yang diminta sudah siap. Ariyanto pun menemui Syafei di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, untuk menerima uang tersebut. Lantas uang tersebut diantarkan ke rumah Wahyu Gunawan.
Kemudian, Wahyu Gunawan menyerahkan uang tersebut kepada Arif. Saat penyerahan tersebut, Arif memberikan uang 50.000 dolar AS kepada Wahyu Gunawan. Baca kelanjutan perjalanan uang suap tersebut di sini.
Sudah 8 Tersangka
Syafei ditetapkan sebagai tersangka kedelapan kasus ini. Ia dikenai Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata PN Jakarta Utara, MS (Marcella Santoso) selaku advokat, AR (Ariyanto) selaku advokat, dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta tiga hakim, yakni DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).
Adapun putusan ontslag tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada Rabu (19/3).
Pada putusan ini, para terdakwa korporasi yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).
Kendati demikian, majelis hakim yang terdiri dari tersangka DJU, ASB, dan AM, menyatakan bahwa perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU.