Pakar Bicara Acuan Terapi Seni untuk Anak Autistik

6 hours ago 4

TEMPO.CO, Yogyakarta - Mengembangkan bakat seni atau menciptakan karya unik menjadi salah satu bentuk terapi psikis dan mental bagi para penyandang neurodiversity, khususnya Autism Spectrum Disorder atau penyandang autistik.

Dosen Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Hadjar Pamadhi mengatakan terapi yang dilakukan sebaiknya mengacu pada konsep Ambuka Laras Pangesti Wiji yang dicetuskan tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara. Konsep ini menjadikan kesenian sebagai landasan pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Enggak semua anak suka menggambar. Jadi melatih anak untuk membuka rasa dulu. Bimbingan rasa itu penting,” kata Hadjar dalam talkshow bertema “Perspektif Psikologis dalam Art Therapy bagi Autistik” yang diselenggarakan Komunitas Seni Pesona Autistik Indonesia di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas UGM, Yogyakarta, Senin, 19 Mei 2025.

Ia mencontohkan, ada anak autis yang suka merapikan benda-benda di dalam rumah. Ia tak suka melihat rumah kotor. Atau menambah bunga di dalam rumah sehingga menjadi indah. Dan yang dilakukan anak tersebut adalah bagian dari seni.

“Nggak mesti berkesenian itu harus dengan menunjukkan karya lukisan. Orang tua harus memahami itu,” imbuh Hadjar yang merupakan seorang pemerhati kesenian anak sejak 1974. 

Menurut Hadjar, seni adalah bagaimana perasaan itu selalu hadir. Oleh karena itu, dia melanjutkan, anak dengan autis bisa dilatih untuk memahami keindahan. Kemudian pelan-pelan akan memunculkan kebiasaan yang diarahkan.

Hadjar berpesan kepada orang tua untuk memancing anak mengungkapkan ide atau gagasannya melalui gambar.  Semisal, anak dilatih untuk mengungkapkan perasaannya saat senang, gembira, sedih, atau marah. Bisa dalam bentuk suatu objek tertentu, bisa juga dalam bentuk komposisi warna tertentu.

“Bisa mengungkapkan itu membuat kesulitan, kesakitan akan hilang. Dibuang dalam bentuk karya, sehingga seperti diary,” kata Hadjar.

Salah satu contohnya adalah pengalaman Anugrah Fadly, seorang perupa dengan autis. Ia melukis sosok orang yang tengah duduk dengan tangan terangkat ke atas. Di depannya ada sebuah botol warna merah yang menyemburkan warna kuning. Di belakangnya, ada botol hijau dengan logo bintang merah. Uniknya, lukisan itu banyak menggunakan aksen cat hitam sehingga terkesan gelam dan kelam.

Uga, demikian panggilan perupa itu, memberi judul lukisannya dengan “Kembali ke Jalan yang Benar”. Lukisan itu tercetus dari ingatannya saat pertama kali indekos di Yogyakarta pada 2017. Saat malam tiba, teman-temannya mengajak patungan untuk membeli minuman keras.

“Mendekati jam 9 malam, hawanya mengganas, agresif, mudah emosi. Begitu ada yang memarahi, naluri menyerangnya masih agresif,” ujar Uga.

Warna hitam dalam lukisannya menjadi warna kunci yang menggambarkan memori yang menyeramkan. “Itu memori yang kelam. Karena terjerumus dalam kehidupan yang lebih dewasa (maksudnya adalah mabuk),” ujar Uga yang saat itu baru lulus SMA.

Sementara Ketua Komunitas Seni Pesona Autistik Indonesia Mirah Hartika menjelaskan pihaknya berupaya mengajak orang tua dan individu autistik untuk menggali potensi yang ada, mengasah rasa seni, dan mewujudkannya pada kanvas. Harapannya, individu penyandang autistik dapat mengekspresikan diri, mengasah keterampilan, dan mampu menjual karya seni mereka sehingga dapat membantu kehidupan sehari-hari.

“Juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan kemampuan dan potensi penyandang autisme, sehingga bisa mengurangi persepsi negatif dan stigma sosial yang melekat pada autisme,” ucap dia.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |