Peran Kepala Tim Hukum Wilmar Group di Kasus Suap Hakim

2 days ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Tim Hukum PT Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY) ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka baru dalam kasus suap hakim sebesar Rp 60 miliar. Syafei diduga terlibat penyuapan hakim yang menangani perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng di Pengadilan Jakarta Pusat.

“Malam ini menetapkan satu orang tersangka, MSY. Yang bersangkutan sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers, Selasa, 15 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uang Rp 60 miliar tersebut diduga diberikan agar hakim memberikan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi minyak goreng yang menyeret tiga korporasi besar, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. 

Sebelumnya, ketiga perusahaan itu didakwa atas tindak pidana korupsi CPO. Wilmar lalu dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut denda masing-masing Rp 1 miliar.

Namun, ketiga korporasi tersebut justru divonis ontslag van alle recht vervolging, atau terbukti melakukan perbuatan, tapi dinyatakan bukan tindak pidana oleh majelis hakim. Putusan itu, menurut Kejaksaan, merupakan hasil pesanan dari praktik suap yang sedang diselidiki.

Lantas, apa peran Kepala Tim Hukum Wilmar Group dalam kasus suap hakim ini? Berikut penjelasannya.

Peran Kepala Tim Hukum Wilmar Group

Abdul Qohar menjelaskan, dalam kasus suap hakim tersebut, Syafei berperan sebagai orang yang menyediakan uang suap. Hal ini berawal ketika tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bertemu dengan tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat atau penasihat korporasi dalam kasus korupsi CPO.

“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, 15 April 2025, seperti dikutip Antara.

Wahyu Gunawan, meski bertugas di PN Jakarta Utara, bisa menjadi makelar kasus ini karena ia orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Hasil pertemuan dengan Wahyu Gunawan tersebut lantas disampaikan oleh Ariyanto kepada tersangka MS (Marcella Santoso) selaku advokat tersangka korporasi. MS lalu menemui Syafei selaku Head Social Security Legal PT Wilmar Group di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan.

“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” kata Qohar.

Menurut Qohar, sekitar dua pekan kemudian, Ariyanto kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan yang menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto pun menyampaikan kepada Marcella yang kembali menemui Syafei di rumah makan yang sama. Dalam pertemuan itu, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar. 

Menindaklanjuti hal tersebut, tersangka Arianto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur. Arif  lalu mengatakan bahwa perkara korupsi CPO tersebut tidak dapat diputus bebas, tetapi bisa diputus lepas (ontslag). Arif pun meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga menjadi Rp 60 miliar.

Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp 60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella yang menyampaikannya kepada Syafei. “MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” kata Qohar.

Sekitar tiga hari kemudian, Syafei mengatakan bahwa uang yang diminta sudah siap. Ariyanto pun menemui Syafei di sebuah area parkir di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, untuk menerima uang tersebut. Lantas uang diantarkan ke rumah Wahyu Gunawan untuk diserahkan kepada Arif.

Setelah itu, Arif selaku Wakil Ketua PN Jakpus menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom untuk menangani kasus tersebut. Pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakpus memutus ketiga korporasi secara ontslag, membebaskan mereka dari semua tuntutan jaksa.

Jihan Ristiyanti dan Yudono Yanuar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |