TEMPO.CO, Jakarta -Polemik seputar keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo, kembali menemukan titik baru. Sebelumnya pakar telematika Roy Suryo menyebut adanya dugaan pemalsuan pas foto dalam dokumen ijazah S1 Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Roy mengklaim, kejanggalan dapat dilihat secara kasat mata, terutama dari letak cap UGM yang dianggap tidak wajar mengenai bagian foto.
Dalam pernyataan sebelumnya pada 14 April 2025, Roy Suryo menyinggung metode Error Level Analysis (ELA) sebagai alat bantu analisis keaslian gambar digital dalam ijazah Jokowi tersebut. Namun demikian, hasil resmi dari penyelidikan Bareskrim Polri menyatakan hal berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 22 Mei 2025, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan bahwa dokumen asli ijazah Jokowi dengan nomor 1120 atas nama Joko Widodo dan NIM 1681/KT dari Fakultas Kehutanan UGM telah ditemukan. Ijazah itu, diterbitkan pada 5 November 1985, diuji secara laboratorium dan dibandingkan dengan tiga ijazah milik rekan seangkatan Jokowi di UGM.
Pengujian forensik melibatkan analisis terhadap bahan kertas, pengaman kertas, teknik pencetakan, tinta tulisan tangan, cap stempel, hingga tanda tangan pejabat kampus pada masa itu. Hasilnya menunjukkan bahwa ijazah Jokowi identik dengan dokumen pembanding.
“Dari penelitian tersebut, maka antara bukti dan pembanding adalah identik atau berasal dari satu produk yang sama,” ujar Djuhandhani dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim, Jakarta.
Namun, Roy Suryo meragukan hasil tersebut. Ia menilai penggunaan kata "identik" belum menunjukkan keaslian yang otentik, apalagi jika metode pembandingan dokumennya tidak diungkap secara transparan.
"Hasil Puslabfor Mabes Polri ini belum final. Ini hanya satu bagian dari proses pembuktian, belum merupakan hasil otentik," ujar Roy kepada wartawan, Jumat, 23 Mei 2025.
Apa Itu Error Level Analysis (ELA)?
Error Level Analysis atau ELA adalah teknik dalam forensik digital yang digunakan untuk mendeteksi manipulasi pada gambar digital, khususnya dalam format JPEG. Dikutip dari laman UPI, konsep dasarnya adalah bahwa setiap kali sebuah gambar JPEG disimpan ulang, tingkat kompresi di seluruh bagian gambar seharusnya relatif seragam. Namun, jika ada bagian yang telah diedit, bagian tersebut akan menunjukkan pola kompresi yang berbeda.
Proses ELA melibatkan:
1. Menyimpan ulang gambar dengan tingkat kompresi yang sama seperti aslinya.
2. Menghitung perbedaan antara gambar asli dan gambar hasil penyimpanan ulang.
3. Menampilkan perbedaan dalam bentuk peta kesalahan (error map), yang memperlihatkan area mencolok sebagai indikasi potensi manipulasi.
Dalam dunia forensik digital, ELA digunakan untuk:
1. Verifikasi Keaslian Gambar: Mengetahui apakah suatu gambar telah diedit atau masih asli.
2. Deteksi Pemalsuan Dokumen: Mendeteksi manipulasi pada tanda tangan, cap, atau elemen lain dalam dokumen digital.
3. Investigasi Kriminal Digital: Memberikan bukti visual manipulasi gambar dalam konteks hukum atau penyelidikan.
Keunggulan utama ELA adalah kemampuannya mendeteksi perubahan secara visual tanpa bergantung pada metadata gambar, serta fleksibilitasnya untuk dikombinasikan dengan teknik forensik digital lain.
Meski demikian, penggunaan ELA tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti definitif. Metode ini hanya memberikan indikasi awal yang harus diperkuat dengan bukti dan metode forensik lain yang lebih komprehensif.