Tanggapan Mahkamah Agung soal Dugaan Jaringan Suap Hakim

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak mengetahui dugaan jaringan suap dalam perkara korupsi crude palm oil (CPO) yang ditangani Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. MA menegaskan tugas mereka hanya terbatas pada klarifikasi etik, bukan penyelidikan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau soal penyelidikan, itu wewenang penyidik (Kejaksaan Agung). Kami hanya klarifikasi etik, tidak punya alat bukti,” kata juru bicara MA, Yanto, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Senin, 14 April 2025.

Pernyataan tersebut merespons ihwal keterkaitan kasus suap eks Ketua PN Surabaya dalam perkara Ronald Tanur dengan dugaan pola serupa di Jakarta Pusat. MA mengakui evaluasi pasca-kasus Surabaya tidak menemukan indikasi awal jaringan.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkap sejumlah fakta dari kasus dugaan suap pada penanganan perkara korupsi pemberian izin ekspor CPO atau korupsi minyak goreng di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejagung menetapkan tiga orang hakim sebagai tersangka baru pada Ahad, 13 April 2025 yang menjadikan daftar tersangka pada kasus tersebut saat ini berjumlah tujuh orang.

Tiga hakim tersebut adalah DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharudin), dan AM (Ali Muhtarom). Sementara empat tersangka lain yang telah lebih dulu ditetapkan adalah Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), pengacara Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG).

MA mengatakan bahwa Arif dan tiga hakim Tipikor lain telah dinonaktifkan segera setelah MA menerima surat penyelidikan dan penetapan tersangka. Penggantian struktural akan mengikuti rapat pimpinan dan ketentuan mutasi.

Selain itu, mereka juga mengungkap tidak akan membiarkan kekosongan kepemimpinan di pengadilan, meski Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis CPO. “Wakil ketua otomatis melaksanakan tugas. Itu mekanisme yang berlaku,” kata Yanto.

Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyampaikan, tim penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang di Kantor Kejaksaan Agung sejak Sabtu, 12 April 2025 pukul 12.00 WIB. “Yakni tiga hakim yang ditetapkan sebagai tersangka serta saksi atas nama DAK dan LK selaku staf legal PT Daya Labuhan Indah Grup Wilmar, serta AH dan TH selaku Karyawan Indah Kusuma,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kantor Kejagung RI, Jakarta Selatan pada Senin dini hari, 14 April 2025.

Adapun hasil dari pemeriksaan para saksi tersebut diperoleh fakta bahwa praktik suap bermula dengan adanya kesepakatan antara tersangka Ariyanto selaku pengacara tersangka korporasi dalam kasus ini dengan tersangka Wahyu untuk mengurus perkara korupsi tiga korporasi minyak goreng. Tersangka korporasi meminta agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar. 

Selanjutnya, kesepakatan tersebut disampaikan Wahyu kepada tersangka Arif Nuryanta agar perkara tersebut diputus onslag. Permintaan itu kemudian disetujui Arif dengan meminta imbalan berupa Rp 20 miliar tersebut dikali tiga sehingga totalnya menjadi Rp 60 miliar.

Tersangka Ariyanto yang mendapatkan informasi tersebut dari Wahyu, menyanggupi dan menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam mata uang dolar AS melalui Wahyu. Oleh Wahyu, uang tersebut selanjutnya diberikan kepada Arif. Atas jasanya sebagai perantara, Wahyu diberi uang senilai 50 ribu dolar AS oleh Arif. “Jadi, Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” kata Qohar.

Setelahnya, Qohar meneruskan, uang tersebut diterima oleh Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menunjuk anggota majelis hakim yang terdiri dari tersangka Djuyamto sebagai ketua majelis, tersangka Agam sebagai anggota majelis, dan tersangka Ali Muhtarom sebagai hakim ad hoc.

Setelah terbit penetapan sidang, Arif memanggil Djuyamto dan Agam untuk kemudian memberikan uang dolar senilai Rp 4,5 miliar dengan tujuan untuk uang baca berkas perkara. Arif juga meminta kepada dua hakim tersebut agar perkara itu diatensi.

“Uang Rp 4,5 miliar tersebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh ASB, kemudian dibagi tiga untuk dirinya, DJU, dan AL,” tutur Qohar.

Beberapa waktu kemudian, pada September atau Oktober 2024, Arif kembali memberikan uang dolar AS yang apabila dirupiahkan senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto. Uang dolar AS tersebut kembali dibagi tiga kepada majelis hakim yang jika dirupiahkan untuk dirinya senilai Rp 6 miliar, untuk Agam sebesar Rp 4,5 miliar, dan untuk Ali sebesar Rp 5 miliar.

Atas perbuatan mereka, para tersangka disangkakan melanggar pasal berlapis. Qohar menyebutkan, yakni Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |