Yati Sada Mura Perempuan Pertama Pimpin BUMDes Pengelola PLTS di Sumba Tengah

5 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah melalui rapat umum yang panjang dan melelahkan, warga Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), menetapkan Yanti Sada Mura, 42 tahun, sebagai Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Hali Dewa. Ia menjadi perempuan pertama yang menjabat posisi itu sejak BUMDes dibentuk pada 2022.

Nama Hali Dewa, dalam bahasa Sumba, berarti tangisan jiwa. Pemilihan nama ini cerminan harapan warga yang sejak lama mendambakan penerangan. Harapan itu mulai terwujud berkat kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun dengan dana hibah dari pemerintah Inggris melalui program Menuju Transisi Energi Bersih Indonesia (Mentari). Kini, dua unit PLTS berkapasitas 60 kWp dan 35 kWp menerangi 216 rumah di Mata Redi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengelolaan PLTS dilakukan dengan pendekatan berbasis komunitas. Setelah lima tahun proses pendampingan, pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada BUMDes, termasuk operasional dan biaya perawatan yang ditanggung bersama melalui iuran Rp50 ribu per rumah tangga.

Yanti yang baru terpilih sebagai direktur memikul tanggung jawab besar. Ia harus memastikan keberlanjutan operasional PLTS. “Jangan lihat saya sebagai perempuan,” ujarnya setelah ditetapkan sebagai direktur. “Saya tidak akan bisa menjalankan program atau menjamin keberlangsungan PLTS tanpa dukungan warga.”

Menurut Rita Kefi, pendamping Program Mentari yang berfokus pada isu gender dan inklusivitas, terpilihnya Yanti merupakan langkah besar. Ketika program pertama kali hadir di desa, hampir semua peran publik didominasi laki-laki. “Perempuan paling dekat dengan pekerjaan domestik, mulai dari memasak, mengatur kebutuhan rumah hingga mengurus anak. Dan perempuanlah yang paling tahu bagaimana mengelola listrik,” kata Rita.

Awalnya, keterlibatan perempuan bukan sasaran khusus. Namun hasil kajian awal mengungkap ketimpangan yang signifikan lantaran perempuan nyaris tak memiliki ruang bersuara atau mengambil keputusan. “Awalnya kami tidak menyangka ketimpangan peran itu begitu dalam,” kata Rita. Ia menjelaskan, warga perempuan hanya menjadi pelengkap dalam kegiatan desa, sementara keputusan mutlak berada di tangan laki-laki.

Tim Mentari lalu merancang strategi intervensi berbasis gender dan inklusi sosial. Salah satunya adalah menetapkan keikutsertaan kelompok beragam terdiri dari perempuan, laki-laki, pemuda, hingga lansia dalam setiap kegiatan.

Namun, pendekatan ini tak langsung diterima. Budaya setempat, terutama kalangan laki-laki, cenderung menolak. “Waktu ada perempuan bicara di forum, laki-lakinya bilang, ‘Silakan bicara, tapi tetap suara kami yang dipakai’,” ujar Rita.

Ia kemudian mengubah pendekatan dengan melibatkan pasangan suami-istri dalam pelatihan. “Agar diskusi yang setara bisa dimulai dari rumah,” katanya.

Perlahan, perubahan terjadi. Perempuan mulai bersuara di forum publik dan memberi usulan yang dihargai. Beban kerja di rumah pun mulai dibagi. Para suami ikut mengasuh anak, mengambil air, atau membantu pekerjaan rumah tangga lainnya.

Dampak paling nyata terlihat dari munculnya pemimpin perempuan seperti Yanti. “Dulu ia bahkan gemetar saat diminta bicara,” kata Rita. “Kini, ia jadi sosok yang disegani dan didengarkan di forum-forum desa.”

Meski struktur pemerintahan desa masih didominasi laki-laki, Rita menyebut pihaknya tengah mendorong Yanti maju sebagai calon kepala desa. Harapannya, jika Yanti terpilih, ia akan membuka jalan bagi perempuan lain untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan desa.

Rita menegaskan, transformasi di Mata Redi menunjukkan perubahan sosial bisa terjadi lewat pendekatan yang konsisten dan inklusif. “Ketika perempuan diberi ruang, mereka tak hanya bicara. Mereka memimpin,” ujarnya.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |