Balasan Negara-Negara terhadap Tarif Trump, Cina-AS Memanas

1 week ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah negara bereaksi keras terhadap kebijakan tarif impor yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Beberapa negara mengecam tarif Trump atau tarif resiprokal itu, hingga menetapkan tarif balasan atau retaliasi.

Berbagai pihak pun menilai kebijakan Trump dapat memicu perang dagang yang merugikan ekonomi dunia. Lantas, apa saja balasan dari sejumlah negara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cina Kenakan Tarif 34 Persen untuk AS

Pemerintah Cina memberlakukan tarif 34 persen atas produk impor asal Amerika Serikat sebagai balasan dari penerapan bea masuk Trump. Adapun AS sebelumnya juga mengenakan tarif timbal balik kepada Cina sebesar 34 persen. “Kebijakan bebas bea dan keringanan tarif yang berlaku saat ini tidak berubah, dan tarif tambahan ini tidak termasuk dalam keringanan,” demikian pernyataan Komite Tarif Dewan Negara Cina di Beijing pada Jumat, 4 April 2025, seperti dikutip dari Antara

Komite Tarif Dewan Negara Cina menilai pengenaan tarif tambahan itu berdasarkan Undang-Undang (UU) Tarif, UU Kepabeanan, dan UU Perdagangan Luar Negeri, maupun prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang mulai berlaku Kamis, 10 April 2025. 

Adapun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Cina pada Sabtu, 5 April 2025 menyatakan pemberlakuan tarif impor AS telah melanggar hak dan kepentingan sah berbagai negara. Selain itu, kebijakan Trump tersebut juga melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), merusak sistem perdagangan multilateral, dan mengguncang stabilitas ekonomi global. 

Oleh karena itu, Cina tegas mengecam tindakan Trump. “Dengan menggunakan tarif sebagai senjata untuk memaksakan tekanan ekstrem dan mengejar kepentingan pribadi, AS menunjukkan perilaku unilateralisme, proteksionisme, dan perundungan ekonomi,” demikian dikutip dari laman Kemlu Cina. 

Di balik kampanye kesetaraan dan keadilan, menurut pemerintah Cina, AS hanya bermain peran zero-sum dengan prinsip America First dan Amerika yang Istimewa. Prinsip-prinsip tersebut dianggap bertujuan untuk mengganti tatanan ekonomi dan perdagangan internasional yang telah terbentuk, mengedepankan kepentingan AS di atas kepentingan internasional, dan mengorbankan hak-hak negara-negara di dunia demi keuntungan hegemoni AS. “Cina adalah negara peradaban kuno yang menjunjung kesopanan dan aturan. Kami tidak mencari masalah, tetapi tidak takut menghadapinya. Tekanan dan ancaman bukanlah cara yang tepat dalam berinteraksi dengan Cina,” tulis pemerintah Cina. 

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan pasar konsumen barang terbesar kedua, Cina juga mengaku bakal terus membuka pintunya semakin lebar, apa pun gejolak internasional yang terjadi. “Cina siap berbagi peluang pembangunan dengan dunia demi mencapai hasil saling menguntungkan, dan kami juga yakin sebagian besar negara di dunia yang percaya keadilan dan kebenaran akan menentukan pilihan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Dunia membutuhkan keadilan, bukan arogansi,” kata Kemlu Cina. 

Kementerian Perdagangan (Kemendag) Cina juga mengumumkan rencana penambahan 11 perusahaan AS ke dalam daftar entitas yang tidak bisa diandalkan. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan tersebut tidak diperkenankan untuk beroperasi di Cina atau menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Negeri Tirai Bambu. 

Sistem perizinan juga diberlakukan untuk menekan ekspor tujuh komoditas yang jarang ditambang dan diproses hampir secara eksklusif di Cina serta biasa digunakan untuk produksi kendaraan listrik. Selanjutnya, Kemendag Cina menambahkan 27 perusahaan ke dalam daftar entitas yang menghadapi pembatasan perdagangan, dan merilis penyelidikan antimonopoli terhadap anak usaha AS. 

Sementara Bea Cukai Cina berencana menghentikan impor ayam dari lima eksportir komoditas pertanian terbesar di Amerika Serikat, dan juga impor sorgum. Cina selama ini menjadi eksportir terbesar kedua AS setelah Meksiko, serta pasar ekspor terbesar ketiga AS menyusul Kanada dan Meksiko. 

Nilai ekspor Cina ke AS tembus US$ 426,9 miliar dengan produk utama, misalnya ponsel pintar (smartphone), furnitur, mainan, dan produk lainnya. Sebaliknya, Cina membeli produk AS, seperti semikonduktor, bahan bakar fosil, produk pertanian, dan barang lain senilai US$ 147,8 miliar. 

Kanada Kenakan Tarif Balasan untuk Mobil Impor dari AS

Menteri Keuangan (Menkeu) Kanada Francois-Philippe Champagne mengumumkan langkah balasan terhadap tarif Trump untuk industri otomotif Amerika Serikat mulai Rabu, 9 April 2025. Dia mengatakan pihaknya akan terus merespons dengan tegas semua tarif tak berdasar dan tidak masuk akal yang dikenakan AS. “Pemerintah berkomitmen penuh untuk menyingkirkan tarif AS ini sesegera mungkin, serta akan melindungi pekerja, bisnis, ekonomi, dan industri Kanada,” kata Champagne dalam keterangannya pada Selasa, 8 April 2025. 

Retaliasi itu, yang disampaikan oleh Perdana Menteri Kanada Mark Carney minggu lalu, mencakup tarif sebesar 25 persen terhadap kendaraan rakitan lengkap yang tidak termasuk dalam Perjanjian Kanada-Amerika Serikat-Meksiko atau Canada-U.S.-Mexico Agreement (CUSMA), yang dikirim ke Kanada dari AS. Kemudian, tarif sebesar 25 persen terhadap komponen non-Kanada dan non-Meksiko pada kendaraan rakitan lengkap yang termasuk dalam CUSMA yang diimpor oleh Kanada dari AS. 

Menurut pernyataan itu, kerangka kerja sah bagi produsen mobil yang membagikan insentif produksi dan investasi di Kanada serta membantu mempertahankan lapangan pekerjaan di Kanada, juga bakal menjadi sasaran. 

Uni Eropa Targetkan Layanan Online AS

Uni Eropa menyatakan siap untuk mengikuti perang dagang dengan Amerika Serikat dan berencana untuk menyerang layanan daring (online) sebagai balasan terhadap tarif Trump. Juru bicara pemerintah Prancis Sophie Primas mengungkapkan kekhawatiran khusus terhadap industri anggur dan minuman beralkohol. “Kami memiliki berbagai macam alat dan kami siap menghadapi perang dagang ini,” ucap Primas, Kamis, 3 April 2025, seperti dikutip dari France 24. “Trump menganggap dirinya penguasa dunia.” 

Dia menjelaskan, Uni Eropa tengah menyiapkan dua tahap balasan, dengan respons awal akan diberlakukan sekitar pertengahan April 2025 terkait aluminium dan baja. Kemudian, pihaknya juga akan menargetkan semua produk dan layanan, dengan langkah-langkah yang mungkin siap pada akhir April nanti. “Namun, kami juga akan menyerang layanan. Misalnya, layanan daring, yang saat ini tidak dikenai pajak, tetapi bisa saja dikenai pajak,” ujar Primas.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |