Berbagai Upaya Memerangi Hoaks di WhatsApp

4 hours ago 5

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

WhatsApp sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital kita. Namun dibalik kemudahan tersebut, WhatsApp juga menjadi sarang bagi penyebaran disinformasi. Beragam upaya menekan hoaks di grup percakapan tertutup ini, sudah dilakukan. Mengapa tak semuanya efektif?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Berbagai Upaya Memerangi Hoaks di WhatsApp

Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan pengguna WhatsApp terbanyak ketiga di dunia. World Population Review mencatat jumlahnya mencapai 112 juta pengguna, meningkat signifikan dari 84,8 juta pada tahun 2022. WhatsApp bahkan menjadi aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, mengalahkan platform-platform populer lainnya menurut laporan terbaru We Are Social edisi Februari 2025.

Popularitas ini tidak mengherankan mengingat kemudahan penggunaan dan fitur-fitur yang ditawarkan WhatsApp, seperti enkripsi end-to-end yang menjamin privasi pengguna. Sayangnya, fitur enkripsi yang sama juga menciptakan tantangan tersendiri dalam upaya menanggulangi penyebaran disinformasi.

Di balik manfaat signifikan dalam hal komunikasi dan konektivitas, pilihan desain yang diterapkan Meta untuk WhatsApp turut mempengaruhi penyebaran hoaks. Menurut studi oleh peneliti Rutgers University dan University of Michigan School of Information, secara tidak sengaja desain WhatsApp menempatkan beban untuk mengoreksi disinformasi dan ujaran berbahaya kepada para penggunanya. Fenomena ini dikenal sebagai "beban epistemik" (epistemic burden).

Beban epistemik ini menjadi semakin problematik ketika jatuh pada kelompok-kelompok minoritas atau marjinal yang seringkali tidak memiliki modal sosial dan akses platform yang memadai untuk mengoreksi hoaks. Akibatnya, muncul fenomena hidden virality atau "viralitas tersembunyi", yakni ketika konten-konten bermasalah menyebar tanpa terdeteksi dalam ruang-ruang pribadi yang terenkripsi.

Beberapa inisiatif sudah ditempuh untuk memerangi disinformasi di WhatsApp, baik oleh organisasi pemeriksa fakta maupun perubahan oleh Meta, perusahaan induk WhatsApp. Hanya saja, efektivitas berbagai upaya dan kolaborasi bersama memerangi disinformasi itu tetap memiliki keterbatasan. Ini lantaran desain platform dan dinamika kekuatan yang melekat di dalam grup WhatsApp.

Contohnya, Meta meluncurkan helpline untuk deteksi deepfake awal tahun 2024 silam. Selain itu, WhatsApp membatasi berapa kali sebuah pesan dapat diteruskan. Awalnya, batas ini adalah lima penerima, dan kemudian, sebagian besar pesan yang diteruskan dibatasi hanya satu kali dalam satu waktu. Meskipun dapat menunda penyebaran, hal ini tidak efektif dalam mencegah konten viral dengan cepat dan menjangkau jaringan yang luas. Beberapa pengguna dalam sebuah penelitian melaporkan bahwa mereka melihat disinformasi yang sama banyaknya dengan sebelum pembatasan ini diberlakukan.

WhatsApp juga memperkenalkan label seperti “diteruskan” (forwarded) dan “diteruskan berkali-kali” (forwarded many times) untuk menandakan bahwa pesan sudah disebarkan oleh banyak orang. Meski begitu, fitur-fitur yang disediakan WhatsApp itu tentu masih membutuhkan inisiatif dari pengguna untuk melakukan verifikasi. Pengguna yang kurang cakap menyaring (lack of filtering) dan disengagement, tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, perilaku tersebut muncul sebagai konsekuensi dari desain platform yang memfasilitasi aliran informasi yang berlebihan dan kurangnya mekanisme efektif untuk pengelolaan dan verifikasi konten.

Ditambah lagi, studi menemukan bahwa label-label “diteruskan” ini gagal membantu pengguna untuk membedakan informasi yang salah. Beberapa pengguna bahkan salah mengartikan label “diteruskan berkali-kali” seolah-olah sebagai tanda kesahihan informasi karena sudah disebarkan berulang kali. Label ini juga tidak dengan jelas membedakan mana konten yang menyesatkan dan yang tidak.

Di sisi lain, sejak 2018 WhatsApp berkolaborasi dengan lebih dari 50 organisasi pemeriksa fakta dunia dunia yang tergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) untuk membuka layanan Chatbot atau Tipline. Memanfaatkan API WhatsApp Business, pemeriksa fakta–termasuk Cek Fakta Tempo–membuat hotline atau layanan yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk melaporkan informasi mencurigakan untuk diverifikasi.

Sayangnya, menurut studi, layanan ini masih kurang dimanfaatkan karena pengecekan fakta memakan waktu, dan sebagian besar pengguna merasa lelah untuk memverifikasi sebagian besar pesan yang mereka terima. Sifat WhatsApp yang terenkripsi juga menyulitkan para peneliti untuk menyelidiki keampuhannya.

Beberapa institusi dan jaringan pemeriksa fakta pernah bereksperimen dengan chatbot untuk menyampaikan pemeriksaan fakta secara langsung kepada pengguna di pesan instan. Namun, sebuah studi chatbot Auntie Meiyu yang ditanamkan pada LINE menemukan pengguna yang mengalami perasaan campur aduk karena gaya robotik chatbot dan masih salah dalam mendeteksi informasi palsu. Chatbot cek fakta memang menawarkan kemudahan, tetapi pengguna masih menampakkan ketidakpercayaan terhadap chatbot sebagai kurator informasi. 

Doktor Pengkajian Islam-Dakwah, Media dan Politik, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Abdullah Khusairi berpendapat, para anggota di grup WhatsApp cenderung kewalahan dengan banyaknya informasi yang masuk, yang kerap tak relevan dan sulit disaring. Akibatnya, terjadi "information overload" atau kelebihan informasi, yakni ketika seseorang mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang terlalu banyak. 

Banyak anggota grup yang kemudian memilih untuk tidak membaca pesan yang masuk, mengabaikannya, atau sekadar menghapus pesan tanpa membukanya. Informasi yang meluap itu lantas cenderung diabaikan oleh anggota pasif. Maka tak heran jika kemudian jumlah anggota pasif dalam grup WhatsApp lebih banyak dibandingkan anggota aktif. “Ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam WAG tidak seimbang, dengan beberapa individu mendominasi percakapan sementara yang lain sekadar menjadi pengamat,” tulis Khusairi dalam risetnya.

Berdasarkan rekomendasi dari Britt Paris dan Irene Pasquetto, platform perlu mengembangkan solusi yang lebih proaktif. Misalnya, menambahkan fitur pelaporan anonim yang dapat memberdayakan pengguna. Atau pendekatan desain yang adil, dengan menerapkan sistem sosioteknis yang memprioritaskan kebutuhan pengguna, melibatkan pengguna dalam proses desain sebagai pakar, dan mempertimbangkan konteks budaya dan politik yang kompleks. Atau bisa juga dengan mengintegrasikan alat pengecekan fakta yang lebih mudah diakses, di samping meningkatkan pendidikan literasi digital dalam aplikasi serta menyediakan kanal pelaporan khusus untuk disinformasi.

Di sisi lain, peran moderator grup dan literasi digital perlu ditingkatkan demi mengatasi information overload dan penyebaran disinformasi. Khusairi merekomendasikan pentingnya moderator yang secara aktif mengelola konten dan mendorong praktik berbagi informasi yang bertanggung jawab. 

“Admin WAG tidak hanya bertugas mengatur anggota, tetapi juga memastikan bahwa informasi yang disebarkan memiliki validitas dan tidak menimbulkan polarisasi yang buruk,” kata dia.

Singkatnya, kita bisa tetap mengambil peran dengan menjadi anggota WAG yang melek media dan mendorong anggota lain mengecek kebenaran suatu informasi, sembari mendorong perubahan di tingkat platform dan tanggung jawab korporasi.

Nah, bersediakah Anda menjadi anggota WAG yang proaktif memerangi disinformasi?

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi Tipline kami.

Ikuti kami di media sosial:

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |