TEMPO.CO, Jakarta - Bupati Indramayu Lucky Hakim saat ini sedang diperiksa oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pemeriksaan itu buntut pelesiran sang bupati ke Jepang tanpa memohon izin ke Kemendagri. Tindakan Lucky Hakim dinilai melanggar peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sedang dimintai keterangan oleh Inspektorat, nanti setelah itu baru Pak Bupati akan menghadap ke sini," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat, pada Selasa, 8 April 2025. Menurut Bima, pemeriksaan Lucky Hakim berlangsung sejak pukul 13.00 WIB di Inspektorat Jenderal Kemendagri yang berjaral 1,7 kilometer dari kantor pusat.
Hingga pukul 14.30 WIB, Lucky Hakim terpantau belum menginjakkan kaki di Kantor Pusat Kemendagri. Bima Arya tak banyak menjelaskan bagaimana hasil klarifikasi dari Lucky Hakim. Ia akan memberi keterangan lebih lanjut usai pemeriksaan Lucky Hakim rampung. "Nantilah kita tunggu setelah dari sana. Mau ke sini, tunggu saja," tuturnya.
Sebelumnya Bima Arya menyebut Bupati Indramayu Lucky Hakim tak memahami aturan bepergian ke luar negeri bagi kepala daerah. "Yang jelas Pak Bupati Indramayu tidak memahami aturan (bepergian ke luar negeri) ini," kata Bima Arya saat dihubungi pada Selasa, 8 April 2025. Menurut Bima, tindakan Lucky Hakim melanggar Pasal 76 Ayat (1) Huruf I dan J Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Beleid itu menyatakan kepala dan wakil kepala daerah dilarang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari menteri. Sebagai Bupati, Bima menilai Lucky Hakim seharusnya memahami aturan soal bepergian ke luar negeri.
Sebab, kata Bima, para kepala daerah telah dibekali materi itu saat retreat di Akademi Militer atau Akmil Magelang, Jawa Tengah, pada 21 hingga 28 Februari 2025 lalu. "Dipaparkan secara khusus oleh Menteri Dalam Negeri, lengkap dengan sanksinya," tutur Bima.
Adapun menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah yang bepergian tanpa mengajukan izin ke menteri bisa dikenakan sanksi. Dalam Pasal 77 ayat (2), kata Bima, bupati dan/atau wakil bupati, serta wali kota dan/atau wakilnya, yang melanggar larangan itu dapat dihukum dengan pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh menteri.
Sementara bagi gubernur dan/atau wakil gubernur, sanksi pemberhentian sementara itu akan dikenakan langsung oleh presiden. Bima juga berujar, dalam Pasal 77 ayat (3), presiden maupun menteri dapat memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada kepala daerah yang melanggar.