TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyoroti sistem pembayaran yang diluncurkan Bank Indonesia (BI), yaitu Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Keluhan itu sebagaimana tercantum dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada Senin, 31 Maret 2025. “Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan QRIS, pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu mengenai sifat perubahan potensial. Selain itu, mereka tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan pandangan tentang hal tersebut,” kata USTR dalam laporannya.
Selain Indonesia, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menyampaikan keberatan terhadap sistem pembayaran di sejumlah negara. Siapa saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thailand
Sejak 2013, Thailand mewajibkan pemrosesan untuk semua transaksi pembayaran elektronik ritel domestik menggunakan kartu debit terbitan dalam negeri. Hal tersebut menyebabkan penyedia layanan pembayaran elektronik asing tidak bisa menawarkan layanan lintas negara.
Sehingga penyedia layanan harus membangun kantor cabang dan fasilitas pemrosesan di Thailand. “Jika kartu diterima di lebih dari satu jaringan, maka setidaknya salah satu dari jaringan tersebut harus merupakan jaringan kartu debit nasional. Berdasarkan Standar Kartu Cip Bank Thailand 2016, Bank of Thailand mengharuskan lembaga keuangan yang menerbitkan kartu debit untuk mengeluarkan kartu dengan cip berstandar nasional,” demikian petikan laporan USTR.
Vietnam
Pada 2016, dua jaringan pemrosesan pembayaran Vietnam dikonsolidasikan menjadi monopoli de facto, yaitu National Payments Corporation of Vietnam (NAPAS). Kepemilikan saham NAPAS sebagian dipegang oleh State Bank of Vietnam.
Kemudian, terhitung sejak Januari 2021, Vietnam melalui Surat Edaran 28 mewajibkan transaksi pembayaran ritel domestik diproses oleh NAPAS. Hal tersebut termasuk kartu pembayaran bermerek internasional.
India
USTR menyebut perusahaan-perusahaan AS menyuarakan kekhawatiran mengenai kebijakan informal dan formal layanan pembayaran elektronik di India, yang tampaknya mengutamakan pemasok domestik. Pasalnya, sejak November 2020, National Payments Corporation of India (NPC) mengumumkan pembatasan pangsa pasar sebesar 30 persen terhadap penyedia sistem pembayaran elektronik asing yang memproses layanan melalui Unified Payment Interface India milik NPC. “Perusahaan-perusahaan pembayaran digital asing diberi tenggat waktu hingga Januari 2023 untuk memastikan pangsa pasar mereka memenuhi ketentuan 30 persen. Namun, Kementerian Keuangan India belum memberlakukan batas pangsa pasar ini,” ucap USTR.
Tak hanya itu, USTR turut mempersoalkan rencana pemerintah India yang ingin memperluas penerapan Kartu Mobilitas Umum Nasional (NCMC). NCMC tersebut nantinya hanya akan menggunakan standar kode QR milik negara, seperti QRIS dari Indonesia. “India belum menggunakan standar qSPARC dalam negeri (dikembangkan RuPay), yang secara efektif melarang perusahaan untuk berpartisipasi dalam peluncuran NCMC,” ujar USTR.
Meksiko
Pemerintah AS menyatakan terus memantau perkembangan terkini mengenai kerangka kebijakan untuk pemasok layanan pembayaran elektronik di Meksiko. Pasalnya, kerangka kebijakan yang ada telah membatasi ruang gerak pemasok layanan pembayaran elektronik dari Negeri Paman Sam.
Pada Kamis, 14 September 2023, Komisi Persaingan Ekonomi Federal Meksiko menemukan adanya hambatan persaingan di sektor pemrosesan pembayaran kartu. Untuk itu, mereka mengeluarkan rekomendasi kepada Bank Sentral Meksiko Banxico serta Komisi Nasional Perbankan dan Sekuritas untuk memulihkan kondisi persaingan. “Saat Meksiko mempertimbangkan untuk memperbarui peraturannya, Amerika Serikat terus mendesak untuk memfasilitasi pasar yang kompetitif dan kesempatan yang setara bagi pemasok layanan pembayaran elektronik AS, yang sejalan dengan ketentuan kewajiban dari USMCA Meksiko,” kata USTR dalam laporannya.