Dari Langkah Kecil Menuju Dampak Besar: Pemberdayaan Perempuan ala Women in Tourism Indonesia

6 hours ago 3

CANTIKA.COM, Jakarta - Di balik gegap gempita sektor pariwisata Indonesia yang terus berkembang, ada satu cerita yang kerap luput dari sorotan: peran penting perempuan yang masih belum mendapatkan porsi pengakuan yang layak. Padahal, mereka adalah tulang punggung industri ini, mengisi berbagai posisi dari garda depan hingga lini belakang. Namun, banyak dari mereka yang belum benar-benar diberdayakan.

Inilah yang menjadi alasan lahirnya Women in Tourism Indonesia (WTID), sebuah gerakan kolektif yang bertujuan menciptakan ruang bagi perempuan untuk tumbuh, bersuara, dan memimpin di sektor pariwisata.

Laras Laksi bersama rekannya, Anindwitya Monica, yang sama-sama menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM), memulai langkah besar mereka pada tahun 2019 dengan mendirikan komunitas NGO bernama Women in Tourism Indonesia (WTID).

Gagasan ini lahir dari kepedulian mendalam dari Laras beserta kawan-kawannya yang memiliki passion yang sama terhadap kondisi perempuan dalam industri pariwisata, sektor yang terus tumbuh, namun masih kerap melupakan suara dan kebutuhan perempuan yang terlibat di dalamnya.

"Awalnya sih dari obrolan aku dan teman-temanku pas lagi dinner, kayanya belum ada komunitas yang bahas hal ini secara mendalam tapi tentang perempuannya, lalu akhirnya kita mulai buat di (media sosial) Instagram dan tidak menyangka bakal sebesar ini sekarang," ungkap Laras ketika dihubungi tim Cantika dalam sebuah wawancara daring melalui Google Meets pada 21 April 2025. 

Kekhawatiran Laras dan kawan-kawannya bermula pada isu kesetaraan upah bagi perempuan di bidang pariwisata. Para pekerja perempuan dalam sektor pariwisata juga sering mengalami diskriminasi gender, salah satunya dari tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki meskipun dengan pendidikan dan posisi pekerjaan yang sama.

Realitas ketimpangan gender di dunia kerja, khususnya bagi perempuan di Indonesia, masih terasa kuat hingga hari ini. Sebuah studi pada tahun 2020 menunjukkan bahwa perempuan hanya menyumbang sekitar 24,8 persen dari total pendapatan seluruh angkatan kerja nasional. Hal yang tak kalah mencengangkan, angka ini nyaris tak berubah selama tiga dekade terakhir, seolah menjadi pola yang terus berulang tanpa solusi yang nyata.

Ketimpangan ini semakin terlihat jelas di sektor pariwisata. Berdasarkan laporan dari United Nations World Tourism Organization (UNWTO) tahun 2019, perempuan yang bekerja di industri ini cenderung menerima gaji hingga 30 persen lebih rendah dibandingkan kolega laki-laki mereka untuk peran yang serupa. Data ini menjadi bukti bahwa ketidaksetaraan gender bukan sekadar wacana, tetapi kenyataan yang harus dihadapi dan diubah secara kolektif.

Laras juga menuturkan bahwa ketimpangan pendapatan hanyalah puncak dari gunung es. Dari isu ekonomi tersebut, perlahan terungkap persoalan lain yang tak kalah serius, mulai dari kekerasan berbasis gender hingga ketidakadilan sistemik yang kerap dialami perempuan di sektor pariwisata. Ketidaksetaraan ini bukan hanya soal angka dan gaji, tapi juga menyangkut rasa aman, hak untuk didengar, dan kesempatan yang setara dalam meraih posisi strategis di industri.

Selain pemberdayaan di tingkat individu dan komunitas, suara kolektif untuk mendorong perubahan kebijakan juga menjadi bagian penting dari perjuangan. Women in Tourism Indonesia juga sadar bahwa tanpa dukungan kebijakan yang berpihak dan berperspektif gender, perubahan yang diharapkan akan sulit tercapai. Karena itulah, advokasi terhadap kebijakan publik menjadi salah satu fokus utama, agar perempuan dalam industri pariwisata tidak hanya diberdayakan, tapi juga dilindungi dan diakui secara sistemik.

Laras juga menyoroti pentingnya advokasi kebijakan dalam perjuangan komunitas. Menurutnya, persoalan di sektor pariwisata tak bisa dilepaskan dari kompleksitas lintas sektor yang saling terhubung. "Selain isu kesetaraan gender, kebijakan juga yang sebenarnya sering kita bahas berulang-ulang," ungkap Laras. Ia menambahkan bahwa pariwisata selalu bersinggungan dengan banyak sektor lain, seperti ekonomi, budaya, hingga lingkungan, sehingga arah kebijakannya pun kerap kali rumit diterapkan.

Kontribusi Perempuan dalam Peningkatan Pariwisata

Kontribusi perempuan yang semakin nyata memberi angin segar bagi masa depan pariwisata nasional. Data dari World Economic Forum pada 2024 menunjukkan bahwa posisi Indonesia di Travel and Tourism Development Index melonjak 10 peringkat, salah satu faktor pendorongnya adalah peran aktif perempuan dalam berbagai aspek pengembangan pariwisata.

Angka itu hanyalah permukaan. Di baliknya, ada ribuan cerita perjuangan, kolaborasi, dan semangat perempuan yang tak pernah padam untuk membawa perubahan dari grass root.

WTID juga menyoroti peran perempuan dalam mengembangkan ekowisata. Bagi mereka, ekowisata bukan sekadar tren, tapi sebuah peluang untuk memberdayakan perempuan di desa-desa wisata agar bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menjadi penjaga alam dan budaya lokal.

Gerakan ini berpijak pada prinsip ekofeminisme, yang melihat keterhubungan antara perempuan dan alam. Dalam masyarakat yang masih patriarkis, pendekatan ini menjadi bentuk perlawanan sekaligus solusi: perempuan bukan hanya korban dari ketimpangan, tapi juga agen perubahan untuk masa depan yang lebih hijau dan setara.

Apa Saja Kegiatan Komunitasnya?

Selama enam tahun berdiri, Women in Tourism Indonesia (WTID) telah memberikan dampak signifikan melalui berbagai inisiatif yang fokus pada pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata. Melalui program-program yang dirancang secara terstruktur, WTID tidak hanya membangun keterampilan, tetapi juga melakukan advokasi dan pendampingan untuk memperkuat posisi perempuan dalam industri ini.

Apa Arti Pemberdayaan Perempuan di Mata Women in Tourism Indonesia?

Bagi WTID, pemberdayaan berarti berbagi pengetahuan, menciptakan ruang aman untuk belajar, serta menjadi jembatan antara perempuan pelaku pariwisata dan kolaborator yang ingin mendukung. Aktivitas seperti mentoring, diskusi langsung, dan pendampingan UMKM menjadi cara untuk menguatkan perempuan dalam sektor ini.

Empowerment bukan soal perubahan besar yang instan, tapi dimulai dari hal sederhana—seperti mendengarkan. WTID percaya, ketika perempuan diberi ruang untuk tumbuh, maka industri pariwisata pun ikut berkembang secara inklusif.

Bagaimana Dampaknya?

Sejak berdiri, WTID turut mendorong pembahasan isu-isu perempuan di dunia pariwisata, terutama lewat kerja sama dengan universitas dan komunitas. Namun, dampak besar tak bisa dicapai sendirian, diperlukan kebijakan publik yang berpihak dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.

Tahun ini, WTID tengah menyiapkan konferensi internasional bersama diaspora Indonesia di Australia, serta menjajaki kerja sama dengan organisasi global terkait ekonomi biru. Tujuannya: memperluas jangkauan, memperdalam dampak.

Kolaborasi yang Menginspirasi dalam Kacamata WTID

Salah satu kolaborasi paling berkesan bagi WTID adalah bersama Kedutaan Besar AS dalam public lecture di UGM. Di sana, perwakilan daerah berbagi kisah nyata, termasuk kasus kriminal akibat kurangnya regulasi pariwisata. Cerita ini mendorong lahirnya kebijakan baru dan menyadarkan mahasiswa akan pentingnya pariwisata yang aman dan berkelanjutan.

Kerja sama dengan US Embassy juga melahirkan kelas online mentoring untuk pelaku UMKM, mencakup topik keuangan, pitching, branding, dan kepemimpinan, upaya nyata mendukung pelaku usaha perempuan yang lebih kuat dan siap bersaing.

WTID juga bekerja sama dengan BTPN Syariah dan menjangkau 3.000 UMKM, serta dengan YKAN untuk pemetaan pariwisata berbasis ekonomi biru di Sulawesi dan Maratua.

Semua program ini tumbuh dari semangat kolaborasi. Karena WTID belum memiliki pendanaan tetap, banyak inisiatif hadir berkat kemitraan strategis, membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata perlu dijalankan bersama, demi masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Perubahan Berasal Tak Hanya dari Atas, Tetapi Dari Diri Sendiri

Laras menutupnya dengan sebuah pandangan menarik. Perubahan tak selalu harus datang dari atas. Baginya, transformasi justru bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan sendiri, mulai dari mengadvokasikan teman-teman di sekitar kita, memperjuangkan hak dan posisi diri sendiri, hingga berinvestasi dalam ilmu yang bermanfaat, tidak hanya untuk diri kita, tetapi juga bagi komunitas dan pemangku kepentingan lain dalam sektor pariwisata.

Semangat ini menjadi fondasi bagi gerakan yang dibangun Women in Tourism Indonesia: bahwa pemberdayaan bisa dimulai dari kesadaran individual. Ketika masing-masing orang menyadari potensi mereka dan mulai mengambil peran aktif, maka perubahan kolektif pun bisa terwujud. Laras menekankan pentingnya menjaga optimisme, meskipun kenyataan di lapangan kadang belum sepenuhnya berpihak.

“Kalau sesuatu belum ada, bukan berarti kita harus menunggu. Kita bisa mulai dari diri sendiri, dengan niat dan usaha yang tulus untuk menciptakan kemajuan dalam industri pariwisata yang lebih adil dan berkelanjutan,” ujarnya.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |