TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi (Akses) Suroto mengkritik pendekatan top down sentralistik pemerintah dalam membentuk 80 ribu unit Koperasi Desa Merah Putih. Menurut dia, pendekatan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang otonom, mandiri, dan demokratik.
“Seperti halnya orang mendirikan bisnis. Kalau bisnis dimodali sama mertua semua kan hancur. Tanggung jawabnya tidak ada,” ujar CEO Induk Koperasi Rakyat (Inkur) ini saat dihubungi, Jumat, 25 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendekatan sentralistik, ujar Suroto, juga pernah diambil pemerintah saat mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru. Alih-alih melejit, bantuan infrastruktur dan subsidi yang diguyur pemerintah justru membuka peluang moral hazard karena menjadi bancakan pengurus.
Suroto mencontohkan, kala itu pemerintah membantu KUD dengan beragam privilese seperti bisnis penyaluran pupuk dan penyerapan gabah untuk Bulog. Pemerintah juga memfasilitasi koperasi itu dengan mendirikan Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) dan Bank Umum Koperasi (Bukopin).
“Koperasi Desa Merah Putih berpotensi sangat besar mengulang kegagalan koperasi terdahulu, karena perdekatannya sama. Pemerintah tidak belajar dari kesalahan di masa lalu,” ujar Suroto.
Padahal, menurut Suroto, koperasi yang baik seharusnya tumbuh secara bottom up. Pemerintah tak bertugas mendirikan koperasi, tapi sekadar meregulasi pembentukannya. Pemerintah juga boleh memberikan insentif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Adapun pemerintah Prabowo menargetkan pembentukan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia, yang akan diluncurkan pada 12 Juli 2025. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi memperkirakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk pembentukan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih akan mencapai sekitar Rp 400 triliun.
Angka ini mencakup semua aspek yang diperlukan untuk membangun dan mengelola koperasi di berbagai desa di seluruh Indonesia. Dengan target ambisius ini, setiap Koperasi Desa Merah Putih diharapkan bisa memperoleh keuntungan yang signifikan, yakni mencapai hingga Rp 1 miliar per tahun.
Dengan 80 ribu koperasi di seluruh wilayah Indonesia, berdasarkan perhitungan Budi Arie, total keuntungan yang dapat diperoleh diperkirakan mencapai Rp 80 triliun per tahun. Meski begitu, ia menyebut capaian keuntungan ini tergantung kualitas sumber daya manusia yang mengelola koperasi.