TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menyatakan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak Milik yang terkait dengan kasus pagar laut di perairan Desa Kohod harus diusut ke ranah tindak pidana korupsi meski dalam penanganan kasusnya ditemukan adanya tindak pidana umum berupa pemalsuan dokumen.
“Jadi penyidikan yang dilakukan terkait pidana umum, tapi disitu ada unsur tipikornya maka lex specialisnya tipikor yang harus diutamakan,” ujar Koordinator Ketua Tim Peneliti Jaksa P16 Jampidum Kejagung, Sunarwan, Rabu, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan tersebut merespon pernyataan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro yang mengatakan akan ada dua Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) di kasus penerbitan HGB di perairan Desa Kohod, jika Korps Tindak Pidana Korupsi Polri menemukan indikasi korupsi dalam kasus tersebut.
Adapun Bareskrim mengusut dugaan pemalsuan dokumen penerbitan HGB dan SHM dalam kasus pagar laut tersebut. Sementara Kortas Tipikor sedang menyelidiki ada tidaknya tindak pidana korupsi. Dalam kasus pemalsuan dokumen, Dittipidum Mabes Polri telah menetapkan empat tersangka. Sementara penelusuran tindak pidana korupsi di Kortas Tipikor baru di tahap penyelidikan.
Terkait kasus pemalsuan sertifikat, berkas perkaranya sudah naik tahap satu, namun pada 14 April 2025 lalu jaksa untuk kali kedua mengembalikan SPDP dan berkasnya ke penyidik Polri. Alasannya, penyidik tidak memenuhi petunjuk jaksa untuk mengarahkan kasus ini ke tindak pidana korupsi. Padahal hasil telaah jaksa, menemukan adanya tindak pidana korupsi.
Jaksa menganalisis ada sejumlah tindakan melawan hukum dalam penerbitan HGB dan SHM di wilayah laut Desa Kohod itu. Yakni, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dan indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh tersangka.
Jaksa mengindikasikan bahwa penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas perairan laut Desa Kohod digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam pengerjaan proyek pengembangan Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
Menurut Jaksa, tindakan tersebut adalah satu kesatuan. Mengacu pada Lex specialis derogat legi generali yakni hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Maka seharusnya penyidik cukup mengusut tindak pidana korupsinya.
Sebelumnya, Bareskrim ngotot hanya mengusut pemalsuan dokumen karena dari hasil diskusi dengan BPK tidak ditemukan kerugian negara. Djuhandani menyebut sebuah tindak pidana disebut tindak pidana korupsi jika ada kerugian negara di dalamnya.
“Setelah kita pelajari berkas-berkara, materi (korupsi) itu ada. Ada. Karena ada fakta yang didukung dengan alat bukti adanya laut yang kemudian berubah statusnya menjadi milik perorangan dan kemudian menjadi milik perusahaan,” ujar dia.
Dari situ, jaksa menyebut ada kepemilikan negara yang lepas dengan adanya penerbitan sertifikat palsu itu. Terlebih kasus pagar laut ini juga menyeret penyelanggara negara.