TEMPO.CO, Jakarta - Masa-masa awal menjalani pendidikan sebagai dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, menjadi pengalaman paling gelap bagi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Padjadjaran. Seorang residen semester delapan itu menggambarkannya sebagai “Masa-masa depresi”.
“Semester satu dan dua itu masa-masa depresi. Teman saya kelihatannya baik-baik saja, tapi pas naik semester dua mulai gemetaran, depresi. Akhirnya terapi ke psikolog,” kata seorang dokter residen PPDS Unpad kepada Tempo saat dihubungi Ahad, 13 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, hampir semua teman angkatannya mengalami tekanan mental yang serupa. Pemicunya berlapis. Mulai dari jam kerja hingga 48 jam tanpa tidur, tekanan verbal dari senior dan konsulen, serta sistem kerja rumah sakit yang melimpahkan tugas perawat kepada para para residen.
“Semester satu itu kami dorong pasien sendiri. Fungsi perawat jadi kami yang ambil alih. Identifikasi pasien, ambil darah, bahkan antar pasien ke ruang operasi,” ujar dia. Tak jarang terjadi insiden salah pasien, lantaran prosedur standar yang seharusnya dilakukan perawat, diserahkan sepenuhnya ke residen. “Pasiennya jatuh dari bed, kepala robek, yang disalahkan siapa? Residen lagi.”
Menurut perempuan berusia kisaran 30 tahun yang tak mau disebut namanya itu, kondisi tersebut berlangsung sistemik dan sudah menahun. Rumah sakit maupun pihak kampus, kata dia, belum melakukan pembenahan meski kasus demi kasus bermunculan. “Berpuluh tahun enggak ada perbaikan. Baru gerak setelah kasus Undip viral,” katanya, merujuk tragedi kekerasan di program PPDS Universitas Diponegoro yang ramai diperbincangkan pada Agustus 2024.
Setelah kasus itu, para senior disebut mulai berhenti memerintah junior untuk membeli makanan atau memfotokopi tugas mereka. Namun, tekanan mental lain tetap berlangsung: kekerasan verbal, jam kerja melebihi batas, hingga ancaman sosial bagi mereka yang berani melawan.
“Saya pernah ketiduran setelah jaga 36 jam. Dimarahi senior, disuruh jaga lagi. Saya lawan, akhirnya saya diboikot. Senior-senior lain diajari untuk jauhi saya,” ucapnya.
Ia menyebut tak banyak residen yang berani menyuarakan keberatan secara terbuka. Selain takut terhadap balasan sosial, respons dari pihak berwenang dianggap tak berpihak. “Kalau speak up, jawabannya: kalian yang mau sekolah. Kalian yang daftar sendiri,” katanya.
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan Priguna Mahardika—residen anestesi RSHS yang kini ditahan polisi—menurut dia, bisa jadi buah dari tekanan psikis yang dialami pelaku. Ia mengaku tak membela perbuatan tersangka, namun menyebut sistem pendidikan yang keras bisa membuat residen tertekan.
“Dia seharusnya semester tiga, tapi nggak naik karena melakukan kesalahan prosedur pasien. Bisa jadi itu yang bikin dia makin tertekan,” katanya. Namun, lanjut dia, kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan rumah sakit. “Kenapa tugas ambil darah diserahkan ke residen? Kalau SOP jalan, peluang kejahatan itu bisa dicegah.”
Ia berharap momentum pembekuan program PPDS di RS Hasan Sadikin bisa digunakan untuk perombakan sistem pendidikan dan layanan medis secara menyeluruh. “Audit bukan cuma di anestesi. Semua bagian punya masalah. Jangan cuma dihukum sebulan, lalu balik lagi seperti semula.”
Menanggapi laporan itu, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unpad Rossie Hinduan, menyatakan pihak kampus tengah melakukan evaluasi sistemik. “Kami sudah bertemu mahasiswa PPDS dan membuka jalur pelaporan melalui email,” kata Rossie kepada Tempo saat dihubungi Kamis, 17 April 2025.
Evaluasi tersebut, lanjut dia, dilakukan bersama Direktur RSHS dan akan dilanjutkan dalam rapat bersama seluruh kaprodi PPDS. “Kami ingin tahu celah mana yang membuat pembulian bisa terjadi," ujar dia.
Rossie mengakui sistem pendidikan kedokteran menuntut kedisiplinan tinggi karena tanggung jawab klinis yang besar. “Mengajarkan disiplin itu kadang memang tidak menyenangkan." Ia menyebut kemungkinan adanya perbedaan persepsi antara pendisiplinan dan tindakan yang kini disebut perundungan oleh generasi Z. “Yang benar-benar tidak terkait pengembangan karakter sudah kami hapus.”
Menyoal jam kerja yang dituding berlebihan—hingga 48 jam tanpa tidur dalam satu kasus—Rossie mengatakan data resmi menunjukkan rata-rata 13 jam per hari, masih di bawah batas 80 jam per minggu. Namun ia tidak menampik bahwa sistem jaga dan kewajiban mendampingi pasien pasca-operasi bisa memperpanjang jam kerja.
Evaluasi juga dilakukan terhadap praktik yang diduga melanggar SOP, seperti tugas-tugas perawat yang dilimpahkan ke residen. Rossie menyatakan telah menyampaikan masukan dari mahasiswa ke direktur SDM RSHS. “Ini momentum pembenahan,” katanya.
Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) Arianti Anaya, menyebut Kementerian Kesehatan menerima beberapa masukan dari residen soal jam kerja dan dugaan perundungan. “Kami akan bekerja sama dengan institusi pendidikan dan rumah sakit vertikal untuk mengatur ulang jam kerja,” kata Arianti saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis, 17 April 2025. Ia mengatakan, dalam hal ini KKI akan membantu pemantauan jika diminta, namun audit SOP menjadi kewenangan utama Kemenkes.
Belum ada laporan resmi mengenai gangguan kesehatan mental dari dokter profesional, kata Arianti, tapi pemerintah tetap mewaspadai dampaknya. “Kalau residen dua hari tidak tidur, itu bisa berujung depresi,” ujarnya.