Keresahan SBY Melihat Perang di Mana-mana: Krisis Iklim Lebih Krusial

4 hours ago 3

TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengecam peperangan yang belakangan terjadi di sejumlah belahan dunia. SBY menilai, saat sejumlah negara itu terlibat perang, ada isu yang lebih krusial jadi terabaikan, yakni krisis iklim dan lingkungan.

"Krisis iklim dan krisis lingkungan itu nyata, bukan hoax, dan perang-perang itu semakin memperburuk kondisi bumi serta kehidupan bangsa sedunia," ujar SBY saat menghadiri kuliah umum bertema Green Growth yang digelar The Yudhoyono Institute (TYI) dan Stanford University di Yogyakarta, Senin 12 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SBY menyebut, setidaknya ada tiga situasi yang kini membuat cemas masyarakat dunia. Selain perang fisik mengerahkan peralatan modern, juga situasi geopolitik yang bertambah panas ditambah perang dagang antar negara.

Presiden RI ke-6 itu menilai perlu ada gerakan dari pemimpin bangsa-bangsa untuk mengesampingkan ego mereka. Menurutnya, para pemimpin dunia saat ini perlu bersatu dan berfokus dalam menangani krisis iklim dan lingkungan beserta ancaman dampaknya.

"Kalau para pemimpin dunia gagal bersatu dalam penanganan krisis iklim ini karena terus berperang, berarti kita akan gagal menjaga bumi ini untuk anak cucu kita kelak," katanya sambil menambahkan, ketika krisis iklim terabaikan, negara-negara dikhawatirkan sudah terlambat mengatasi dampak buruk yang ditimbulkan.

Isu tentang iklim dan lingkungan, menurut SBY, memang bukan isu yang populer seperti perang, geopolitik, dan perang ekonomi. Sehingga, SBY menyatakan, ancaman krisis iklim dan lingkungan ini perlu diserukan bersama-sama agar menjadi perhatian utama bangsa-bangsa. Tak terkecuali Indonesia.

"Kita harus mengingatkan para pemimpin dunia, jangan terus larut dalam konflik dan peperangan yang tak ada dampak positifnya," ujar dia.

Pemerintah yang Merusak Lingkungan, Pemerintah yang Bisa Perbaiki

Dalam kuliah umum itu, Arun Majumdar, seorang peneliti yang juga Dekan Stanford Doerr School of Sustainability yang berkonsentrasi pada bidang penelitian dan inovasi berkelanjutan, mengungkapkan pada dasarnya perubahan iklim saat ini sudah terjadi. "Perubahan iklim saat ini situasinya masih cukup bagus, yang perlu kita persiapkan bagaimana ketika itu memberikan dampak buruk," kata Arum.

Menurut Arum, akademisi dan peneliti dunia saat ini perlu bekerja sama dalam proyek-proyek yang berkonsentrasi pada penanganan perubahan iklim agar dampak buruknya bisa diminimalisir. 

Pembicara lain, David Cohen, seorang profesor bidang hukum dan hak asasi manusia dari Stanford University, menyebut salah satu pemicu cepatnya perubahan iklim dan lingkungan adalah kebijakan pemerintah yang sering mengatasnamakan ekonomi keberlanjutan. Kebijakan untuk mengotak-atik alam itu, kata Cohen, diturunkan berjenjang dari tingkat pusat sampai level komunitas terbawah.

"Sering kali, sebagian dari kita fokus pada keberlanjutan masyarakat dan lingkungan, tapi yang membuat bertanya-tanya bagaimana mungkin izin (eksploitasi) diberikan? Baik di kawasan cagar laut yang dilindungi, hutan, dan lainnya," kata Cohen.

Cohen melanjutkan, kebijakan menjaga alam harus dimulai dari level tertinggi pemerintahan, yang bisa mengatur bagaimana keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan tak mengorbankan lingkungan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |