TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi kesehatan dan pakar komunikasi menyuarakan kewaspadaan terhadap klaim yang menormalkan penggunaan rokok elektrik (vape) yang tidak didukung bukti ilmiah. Klaim tersebut berisiko meningkatkan penggunaan rokok elektrik di kalangan anak dan remaja.
Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengingatkan bahwa paparan bahan kimia dalam aerosol rokok elektrik dapat menyebabkan penyakit bronchiolitis obliterans (popcorn lung), penurunan fungsi paru-paru, dan risiko kardiovaskular. “Bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan rokok elektronik jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya bagi generasi masa depan Indonesia," kata Feni, dokter spesialis paru-paru, dikutip dari siaran pers Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Selasa, 6 Mei 2025.
Sorotan Dokter dan Pakar Komunikasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Feni, klaim bahwa vape membantu perokok tembakau untuk berhenti merokok merupakan cara pandang yang tak tepat. Penelitian terbaru yang dirilis pada April 2025 oleh para peneliti dari Johns Hopkins University menjelaskan bahwa hanya 0,08 persen pengguna yang berhenti menggunakan semua produk tembakau dengan bantuan rokok elektrik. “Angka yang sangat kecil,” katanya.
Pakar komunikasi dari Universitas Padjajaran Eni Maryani juga menyoroti bahwa klaim yang tak jelas rujukannya rentan mengaburkan persepsi publik mengenai risiko menggunakan rokok elektrik. "Terdapat bukti-bukti ilmiah yang independen dan justru menunjukkan bahwa rokok elektrik tetap membawa risiko serius terhadap kesehatan. katanya. Ia menambahkan bahwa membuat kesimpulan yang terburu-buru bukan sikap yang tepat apalagi menyangkut kesehatan publik.
Kepentingan Industri
Sekretaris Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mohammad Ainul Maruf mengingatkan tentang potensi campur tangan industri rokok dalam membentuk narasi publik. "Industri tembakau terus berupaya membentuk opini bahwa produk mereka lebih aman, padahal risiko kesehatannya tetap nyata. Kita harus waspada terhadap upaya manipulasi ini dan melindungi proses pembuatan kebijakan dari pengaruh korporasi yang hanya mengejar keuntungan," kata Mohammad Ainul Maruf.
Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) rokok elektronik mengandung berbagai zat berbahaya, termasuk nikotin, logam berat, dan senyawa karsinogenik. Mohammad Ainul Maruf mengingatkan pentingnya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam seluruh kebijakan yang berkaitan dengan produk tembakau alternatif.
Ia menyerukan agar Indonesia tidak terjebak dalam narasi yang dibangun industri dan tetap berkomitmen untuk melindungi generasi mudanya. "Generasi Emas Indonesia 2045 hanya dapat terwujud jika kita membangun manusia Indonesia yang sehat, bebas dari ketergantungan terhadap nikotin dan zat adiktif lainnya," kata Mohammad Ainul Maruf.
Upaya Pencegahan
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Benget Saragih menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan tidak menganggap rokok elektrik, termasuk produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product) sebagai solusi untuk berhenti merokok.
Begitu juga dengan anggapan sebagai strategi efektif menurunkan prevalensi perokok. “Fokus utama kami tetap pada pencegahan dan penghentian penggunaan semua produk tembakau, bukan pada substitusi antarproduk yang tetap mengandung risiko seperti pendekatan pengurangan risiko (harm reduction),” kata Benget.