Masa Depan Sistem Peradilan Pidana, PBHI: Ancaman Perluasan Kewenangan Lembaga

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) berpandangan bahwa saat ini ada kecenderungan masing-masing lembaga memperluas kewenangannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBHI Gina Sabrina mengatakan dalam konteks demokrasi, kewenangan harus dimaknainya sebagai ancaman.

"Jadi kalau ada mau kewenangan berlebih dari institusi Polri, misalnya, dari institusi Kejaksaan dan mungkin Mahkamah Agung, harus dimaknainya sebagai ancaman," kata Gina dalam Diskusi Publik: Masa Depan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang dikutip Tempo dari Youtube PBHI Nasional, pada Ahad, 6 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan adanya upaya lembaga tertentu memperluas kewenangannya dalam sistem peradilan pidana ini, kata dia, maka penting untuk mengimbanginya dengan pengawasan. Jangan sampai hanya kewenangan yang ditambah tapi pengawasannya absen. "Tidak jelas pengawasannya seperti apa, dan itulah yang kemudian kita temukan problemnya hari ini," ujarnya.

Berdasarkan temuan dan pengalaman PBHI pada bisnis proses acara pidana, setidaknya ada empat masalah pada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini. Pertama, perihal pra penyelidikan dan penyelidikan. Yakni, saksi, korban, dan pelaku menghadapi risiko intimidasi. Proses penangkapan seringkali tidak transparan dan tanpa pendampingan.

Gina mencontohkan, bahaya aturan soal aparat penegak hukum tidak wajib menunjukkan identitas dalam penyelidikan tertutup. Contohnya, seperti mahasiswa sedang demo, lalu ditarik oleh seseorang tanpa menunjukan identitasnya. Pelaksanaannya dilakukan terbuka tapi kemudian mereka berdalih sedang melakukan penyelidikan tertutup.

Praktik seperti itu, kata Gina, sering kali terjadi pada saat demonstrasi. Hal itu sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai penculikan karena tidak ada kabar. Dua hari kemudian, polisi baru memberi salinan penangkapannya kepada anggota keluarga.

Kedua, proses penyelidikan yang panjang dan melelahkan. Saksi dan korban mengalami tekanan psikologis, sementara pelaku tindak pidana berisiko mengalami penyiksaan. Bukan cuma pelaku, saksi pun bisa ditangkap paksa untuk dibawa ke kantor polisi, dimintai keterangan yang dalam prosesnya mengalami penyiksaan seperti pemukulan bahkan disundut api rokok.

Tindakan-tindakan tidak manusiawi tersebut, menurut Gina, terjadi karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai lama waktu penangkapan dan penahanan, hak-hak tersangka, saksi, dan lainnya dalam Undang-Undang KUHAP saat ini.

Ketiga, korban kurang berperan aktif dan minim informasi. Pelaku memiliki keterbatasan membela diri dan mengakses dokumen-dokumen perkara. Padahal mereka yang mengalami dan menyaksikan, mengetahui alat-alat bukti tapi tidak dilibatkan secara aktif, atau perkaranya terus berjalan padahal sudah diselesaikan dengan mediasi.

Gina berpandangan bahwa yang terjadi saat ini adalah bila suatu perkara sudah P21, perkara tersebut harus tetap lanjut proses hukumnya meskipun pihak berperkara sudah berdamai.

Temuan terakhir tentang kekurangan KUHAP yakni menyoal pemeriksaan di pengadilan. Saksi kurang mendapat dukungan hukum. Korban harus menghadapi pelaku tanpa bantuan psikolog dan pelaku berisiko tidak mendapat pengadilan adil karena banyak kasus soal rekayasa kasus, pengadilan sesat dan lain-lain.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |