Peminat Pinjol dan Paylater Terus Meningkat, Siap dengan Risikonya?

2 days ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah gegap gempita Lebaran mereda, masyarakat Indonesia kini menghadapi kenyataan yang berulang setiap tahun, yakni tagihan dari layanan pinjaman online (pinjol) dan buy now pay later (BNPL) atau paylater.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pola ini sudah menjadi siklus tahunan yang terus berulang. Saat Lebaran 2024 lalu, misalnya, kredit melalui paylater meningkat 31,45 persen secara tahunan hingga mencapai Rp 6,47 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara penyaluran pinjaman melalui fintech peer-to-peer lending (P2P) juga melonjak 24,16 persen. Pola yang sama kembali terjadi di 2025, bahkan sejak Januari, saat pembiayaan paylater sudah naik 41,9 persen secara tahunan menjadi Rp 7,12 triliun.

Namun, lonjakan ini tak datang tanpa risiko. Rasio kredit macet atau non-performing financing (NPF) pada paylater meningkat dari 2,99 persen di Desember 2024 menjadi 3,37 persen di Januari 2025.

Bahkan, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menyebutkan bahwa banyak pengguna layanan kesulitan membayar cicilan pasca-Lebaran karena lonjakan konsumsi saat Ramadan dan Idulfitri.

“Efek negatifnya akan berakibat setelah Lebaran ketika secara otomatis juga pembayaran tunggakan meningkat,” kata dia kepada Tempo, Kamis, 27 Maret 2025.

Cara Menghindari Pinjol dan Paylater

Banyak orang kini lebih memilih meminjam melalui aplikasi karena kemudahan dan kecepatan, dibanding cara lama seperti meminjam ke keluarga atau tetangga. Sayangnya, kemudahan itu justru membuat pengeluaran jadi tidak terkendali.

Untuk menghindari jebakan utang pasca-Lebaran, masyarakat perlu lebih bijak dalam merencanakan keuangan, terutama selama Ramadan dan menjelang Hari Raya. Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menekankan bahwa masyarakat harus memilah antara kebutuhan primer dan keinginan konsumtif.

“NPF-nya (non-performing financing) pasti akan naik, setelah Lebaran tingkat gagal bayarnya akan cukup meningkat, terutama untuk pay later yang bukan dari bank,” ujar Huda.

Ia menyarankan masyarakat mulai membatasi konsumsi yang tidak prioritas dan memastikan bahwa pinjaman yang diambil sesuai dengan kemampuan bayar.

AFPI sendiri menyarankan agar penyedia layanan memperketat penilaian kelayakan peminjam menggunakan teknologi machine learning, agar hanya pengguna dengan profil risiko rendah yang bisa mengakses pinjaman. Hal ini penting agar beban gagal bayar tidak terus meningkat tiap tahun.

Risiko Tahunan

Tingginya permintaan pinjaman menjelang Lebaran, disusul dengan lonjakan gagal bayar setelahnya, bukan hanya berdampak pada individu. Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, menyebutkan bahwa fenomena ini bisa menjadi “tsunami kredit macet” bila tidak diantisipasi dengan baik.

Menurut Heru, tingginya PHK juga berkontribusi terhadap risiko ini. Sepanjang 2024, tercatat 77.965 orang terkena PHK naik 20 persen dibanding 2023.

“Layanan ini makin diminati di tengah kondisi ekonomi yang sulit, terutama saat banyak orang mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja),” tuturnya.

Kondisi ini membuat daya beli masyarakat melemah. Akibatnya, setelah Lebaran banyak orang kehabisan uang untuk kebutuhan pokok, apalagi untuk membayar cicilan.

OJK mengingatkan, walau tren pinjaman digital mencerminkan potensi pasar besar, pengawasan ketat tetap diperlukan agar industri tetap sehat. Jika tidak, peningkatan NPF pasca-Lebaran bisa menjadi beban jangka panjang, baik bagi pengguna maupun sektor keuangan secara umum.

Riani Sanusi Putri dan Ervana Trikarinaputri turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |