TEMPO.CO, Jakarta - Polemik penataan dan modernisasi Stasiun Lempuyangan Yogyakarta oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) belum menemukan titik terang. Proyek yang dirancang untuk menata kawasan strategis ini justru memicu penolakan warga Kampung Bausasran, Kota Yogyakarta, yang terancam tergusur.
Sebanyak 13 pemukiman di sisi selatan stasiun yang diketahui merupakan bekas rumah dinas PT KAI menjadi titik konflik utama. Warga menolak rencana penataan karena merasa memiliki hak atas tanah tersebut berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). SKT ini juga telah mereka gunakan untuk mengajukan surat kekancingan atau hak pakai ke Keraton Yogyakarta, sebab tanah itu termasuk dalam wilayah Sultan Ground.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, PT KAI mengklaim kepemilikan berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Perusahaan pelat merah itu menegaskan bahwa bangunan yang dihuni warga adalah aset resmi perusahaan yang masuk dalam aktiva tetap dan bahkan terdaftar sebagai cagar budaya.
Menghadapi kebuntuan ini, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X akhirnya angkat bicara. Ia menyatakan akan menunggu laporan dari dua belah pihak yang akan dimediasi oleh putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi.
"Nanti saya mau mendengar dulu keterangan dari kedua belah pihak, karena yang tahu soal itu Mangkubumi," ujar Sultan HB X pada Kamis, 10 April 2025.
Sultan menugaskan Mangkubumi yang juga menjabat sebagai Penghageng Datu Dana Suyasa dan pengelola aset Keraton Yogyakarta untuk mengundang, mendengarkan, dan menengahi warga serta PT KAI.
Terkait sikap warga yang menyatakan hanya akan pergi jika diminta langsung oleh Keraton, Sultan menyatakan bahwa ia akan mencari solusi adil. "Ya nanti, tidak semudah itu, karena mungkin dari pihak PT KAI juga merasa punya hak, karena selama ini mereka yang memelihara, itu juga harus diselesaikan," katanya. Sultan berharap konflik ini bisa segera selesai jika kedua pihak mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Penolakan warga sendiri mulai mencuat sejak 26 Maret 2025, saat PT KAI melakukan sosialisasi awal di kantor kelurahan. Warga menyambutnya dengan memasang spanduk penolakan di depan rumah mereka, di antaranya bertuliskan Pejah Gesang Nderek Sultan yang berarti hidup mati mengikuti Sultan.
Ketua RW 01 Bausasran, Anton Handriutomo, menyebut belum adanya titik temu karena masing-masing pihak merasa memiliki legalitas kuat. "Warga punya SKT, sementara dari mereka (PT KAI) punya surat palilah dari Keraton, jadi belum ada titik temu," ujar Anton. Ia juga mengkritisi sosialisasi yang belum menyentuh persoalan ganti rugi atau tali asih, padahal warga sudah merawat rumah itu sejak lama, termasuk setelah gempa Yogyakarta 2006.
Di sisi lain, Manager Humas KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, menegaskan bahwa bangunan eks rumah dinas tersebut akan dipertahankan karena merupakan aset dan cagar budaya. "Bangunan eks rumah dinas itu merupakan aset PT KAI yang juga masuk cagar budaya, jadi akan dipertahankan dan dipergunakan untuk penunjang operasional," ujarnya.
Feni juga menekankan bahwa PT KAI selalu terbuka untuk dialog demi kelancaran proyek yang ditujukan untuk meningkatkan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan perjalanan kereta api.
Pribadi Wicaksono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.