Liputan6.com, Jakarta - Kelakar khas Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selalu memiliki daya tarik tersendiri. Candaan yang disampaikan bukan sekadar lelucon, tetapi sering kali mengandung makna mendalam dan menggambarkan realitas sosial di masyarakat. Salah satu kisah yang cukup terkenal adalah cerita tentang seorang kiai dan pendeta yang saling meminjam kendaraan.
Kisah ini menceritakan bagaimana hubungan yang harmonis antara dua tokoh agama bisa diwarnai dengan humor yang cerdas. Meski berbeda keyakinan, keduanya tetap menjalin hubungan baik dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @SPORTS_30626, kisah ini menunjukkan bagaimana Gus Dur sering menggunakan humor sebagai cara untuk menyampaikan pesan toleransi dan keharmonisan antarumat beragama.
Diceritakan bahwa ada seorang kiai yang bertetangga dengan seorang pendeta. Hubungan keduanya sangat baik, sehingga sering kali mereka saling meminjam kendaraan. Kiai tersebut memiliki mobil, sedangkan pendeta hanya memiliki sepeda motor.
Suatu hari, hujan turun dengan deras. Sang pendeta yang kebetulan harus bepergian meminjam mobil milik sang kiai. Tanpa ragu, kiai itu meminjamkan mobilnya dengan penuh kepercayaan.
Setelah urusannya selesai, pendeta itu tidak langsung mengembalikan mobil. Melihat mobil yang penuh lumpur akibat hujan, ia memutuskan untuk mencucinya terlebih dahulu. Mobil itu dibersihkan hingga mengkilap sebelum akhirnya dikembalikan kepada sang kiai.
Simak Video Pilihan Ini:
Polisi Bongkar Alat Ukur BMM di SPBU Pemalang, Apa Temuannya?
Saat Knalpot Pendeta Disunat Pak Kiai
Beberapa hari kemudian, kiai itu mendapatkan undangan dari warga di sebuah gang sempit. Karena jalan menuju lokasi terlalu kecil untuk dilalui mobil, ia pun memutuskan untuk meminjam sepeda motor milik pendeta.
Tanpa banyak pertimbangan, pendeta itu langsung memberikan kunci motornya. Ia merasa tidak masalah karena sebelumnya juga telah dipinjami mobil oleh sang kiai.
Kiai itu pun menghadiri undangan menggunakan motor pendeta. Setelah selesai, ia membawa motor itu kembali ke rumahnya sebelum mengembalikannya ke sang pemilik.
Namun, sebelum menyerahkan motor itu, sang kiai melakukan sesuatu yang tak terduga. Ia mengambil gergaji besi dan mulai menggergaji knalpot motor milik pendeta tersebut.
Tak lama setelah motor itu dikembalikan, pendeta pun menyadari ada yang berbeda dengan kendaraannya. Ia terkejut melihat knalpot motornya telah dipotong.
Dengan rasa penasaran, pendeta itu segera mendatangi sang kiai dan bertanya, "Pak Kiai, motor saya diapakan ini?"
Mendengar pertanyaan itu, kiai hanya tersenyum dan dengan enteng menjawab, "Anda telah membaptis mobil saya sebelum mengembalikannya. Jadi sekarang saya menyunat motor Anda."
Mendengar jawaban itu, pendeta terdiam sejenak. Namun, tak lama kemudian, ia tertawa terbahak-bahak menyadari maksud candaan tersebut.
Membangun Toleransi ala Gus Dur
Kisah ini menunjukkan bagaimana humor bisa menjadi jembatan bagi hubungan antaragama. Dengan sikap yang santai dan penuh canda, perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk tetap menjalin persahabatan.
Humor ala Gus Dur seperti ini selalu mengandung pesan moral yang dalam. Dalam cerita ini, tersirat bahwa saling berbagi dan saling menghormati adalah kunci dari keharmonisan sosial.
Di tengah masyarakat yang sering kali terpecah karena perbedaan, cerita ini mengajarkan bahwa kebersamaan bisa tetap terjalin dengan baik jika ada sikap saling menghargai.
Guyonan tentang "baptis" dan "sunat" ini juga menjadi gambaran bahwa humor bisa menjadi alat komunikasi yang efektif dalam membangun toleransi.
Seperti halnya kisah-kisah humor lainnya dari Gus Dur, cerita ini bukan sekadar lelucon, tetapi juga pengingat bahwa hidup tidak perlu selalu dibuat tegang.
Dari kisah ini, ada satu pelajaran yang bisa diambil: perbedaan bukanlah alasan untuk saling menjauh, tetapi justru menjadi alasan untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain.
Dengan humor yang segar dan cerdas, Gus Dur selalu mampu menyampaikan pesan sosial dengan cara yang menyenangkan. Tertawa bersama bisa menjadi awal dari kebersamaan yang lebih erat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul