Dedi Mulyadi Bantah Ada Intimidasi ke Anak yang Ikut Pendidikan di Barak Militer

8 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membantah temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI ihwal dugaan intimidasi terhadap anak dalam program pendidikan di barak militer. Menurut Dedi, temuan itu tidak berdasar dan justru menyesatkan semangat perubahan yang sedang ia bangun.

“Coba cari siapa yang katanya diintimidasi. Temui saja orang tuanya,” ujar Dedi dalam wawancara dengan Tempo via telepon, Jumat, 23 Mei 2025. Ia menyebut, bila ada anak yang merasa tertekan karena pendidikan, itu bukan bentuk intimidasi yang perlu dipolitisasi. “Anak-anak di jalanan juga banyak yang diintimidasi temannya. Lingkungan kita ini juga dipenuhi tekanan dan intimidasi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan KPAI sebelumnya menyebut adanya pengakuan dari sejumlah anak peserta program yang merasa ditekan secara mental selama mengikuti pendidikan dengan pola semi-militer tersebut. Ada pula temuan KPAI yang menyebut salah satu anak yang diancam tak naik kelas apabila menolak mengikuti program pendidikan tersebut. Namun, Dedi menilai tudingan itu mengabaikan fakta bahwa negara, melalui Pemprov Jawa Barat, telah hadir untuk mengurus anak-anak tersebut.

“Kenapa sibuk ngurusin perkara yang sedang diurus? Uruslah yang belum terurus,” katanya. Ia menuding kritik KPAI justru melemahkan pihak-pihak yang tulus bekerja untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

Dedi mengklaim program pendidikan barak justru berhasil mengembalikan ratusan anak kepada pelukan orang tua mereka. Ia menyebut setidaknya 100 dari 273 anak peserta telah pulang ke rumah masing-masing, sementara 13 anak lainnya kini ia asuh secara pribadi.

“Lihat saja nanti hasilnya. Itu bukan intimidasi, itu bagian dari proses kesadaran,” ujarnya. Ia menilai tayangan video rekonsiliasi antara anak dan orang tua dapat dijadikan bukti bahwa programnya itu berdampak positif.

Mantan bupati Purwakarta itu juga mengkritik pola pikir sebagian pihak yang dinilainya terlalu reaktif terhadap kesalahan atau kebijakan yang dianggap tak biasa. “Kalau orang main bola, pasti ada pelanggarannya lah. Namanya tindakan, pasti ada salah-salahnya,” kata dia.

Lebih lanjut, Dedi memperingatkan bahwa kritik yang berlebihan bisa membuat para pemimpin enggan mengambil tindakan. Ia khawatir pejabat publik akan semakin pasif karena takut salah langkah.

“Saya sih nggak ada urusan mau disalah-salahkan, dikritik segala macam, mental saya mental petarung. Tapi yang lain? Yang baru belajar melangkah?” ucapnya. “Kalau orang bekerja ada salahnya tiga, tapi kebenarannya tujuh, pilih mana? Jangan orang yang sedang berbuat justru dikeroyok. Mari kita berbuat untuk bangsa ini bersama-sama,” katanya.

Sebelumnya, KPAI mengungkap adanya praktik intimidatif dalam pelaksanaan program pendidikan karakter berbasis barak militer besutan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menyebut, anak-anak yang menolak mengikuti program ini bahkan mendapat ancaman tidak naik kelas.

"Program ini tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikologi profesional, melainkan hanya rekomendasi dari guru Bimbingan Konseling (BK). Bahkan dari hasil wawancara kami dengan anak-anak di Purwakarta maupun Lembang, ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas," kata Jasra dalam konferensi pers secara daring, Jumat, 16 Mei 2025.

Jasra menyebut temuan ini memunculkan keprihatinan mendalam terhadap proses seleksi dan pendekatan yang digunakan terhadap siswa yang dianggap bermasalah. Ia mengatakan di salah satu lokasi program, yakni di Purwakarta, ditemukan tiga SMP negeri yang belum memiliki guru BK. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar ihwal siapa yang sebenarnya memberikan rekomendasi agar siswa mengikuti program tersebut.

"Ini tentu harus dilihat lebih jauh. Kami merekomendasikan agar asesmen dilakukan oleh psikolog profesional, agar pilihan kebijakan terhadap anak betul-betul tepat dan tidak melanggar hak-hak mereka," ujar Jasra.

KPAI mencatat, mayoritas siswa yang dikirim ke program pendidikan barak militer berasal dari latar belakang dengan kebiasaan merokok, bolos sekolah, atau pernah terlibat tawuran. Namun, sekitar 6,7 persen anak menyatakan tidak tahu alasan mereka dikirim ke program tersebut. Bagi KPAI, ini menjadi tanda bahwa proses seleksi peserta masih bermasalah.

Jasra menegaskan pentingnya peninjauan ulang terhadap ketepatan sasaran dan pendekatan dalam program pendidikan karakter ini. Ia menilai, pemaksaan atau tekanan terhadap anak justru berpotensi mencederai prinsip perlindungan anak dan melanggengkan praktik diskriminatif di lingkungan sekolah.

Tak hanya itu, KPAI juga menemukan tidak semua pembina dalam program pendidikan militer ala Gubernur Dedi Mulyadi itu memahami prinsip dasar perlindungan anak (child safeguarding). Hal itu dinilai sebagai salah satu celah serius dalam pelaksanaan program pendidikan berbasis barak militer yang ditujukan bagi siswa dengan perilaku menyimpang. “Tidak semua Pembina memahami protokol Child Safeguarding,” kata Jasra.

Temuan ini merupakan bagian dari hasil pengawasan langsung KPAI terhadap pelaksanaan program di dua lokasi utama, yakni Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Jasra menilai kurangnya pemahaman pembina terhadap prinsip-prinsip perlindungan anak berpotensi membuka ruang pelanggaran hak anak. Padahal, program yang menyasar siswa usia SMP hingga SMA ini semestinya dilandasi dengan prinsip-prinsip perlindungan khusus, sesuai amanat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |