Liputan6.com, Jakarta - Seorang muslim memiliki kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan dilakukan sebulan penuh. Setiap harinya, puasa dimulai sejak terbit fajar hingga waktu Maghrib.
Ada beberapa golongan yang diperbolehkan oleh syariat meninggalkan puasa Ramadhan. Beberapa di antaranya adalah orang sakit, wanita hamil, wanita haid, ibu menyusui, dan sedang dalam perjalanan.
Meski boleh tidak berpuasa saat Ramadhan, ia tetap memiliki kewajiban mengqadhanya di bulan lain. Qadha puasa dilakukan sejumlah hari yang ditinggalkan. Sebagai contoh, jika sempat tidak berpuasa Ramadhan tujuh hari, maka ia wajib mengqadhanya tujuh hari juga.
Puasa Ramadhan yang ditinggalkannya akan menjadi utang. Utang puasa harus diselesaikan sebelum Ramadhan berikutnya.
Namun yang menjadi pertanyaan, jika masih punya utang puasa tapi sudah masuk Ramadhan lagi, apakah orang tersebut dosa? Simak berikut penjelasan Pengasuh LPD Al Bahjah KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kisah Pengusaha Tionghoa Bantu Pejuang Perang Gerilya di Pegunungan Cilacap
Penjelasan Buya Yahya
Buya Yahya berpesan bagi muslim yang memiliki utang puasa Ramadhan untuk segera diqadha. Waktu qadha puasa Ramadhan sangat panjang, terbentang dari Syawal hingga Sya’ban.
Namun, jika hingga Ramadhan berikutnya masih punya utang puasa, maka kata Buya Yahya orang tersebut akan mendapat hukuman dosa. Ia terbebas dari dosa jika selama setahun tersebut memiliki udzur syar’i yang akhirnya menunda bayar utang puasa.
“Jika Anda tidak membayarnya sampai Ramadhan baru lagi, Anda dosa, kecuali Anda punya udzur,” kata Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Kamis (27/2/2025).
Buya Yahya mencontohkan seorang wanita salehah yang selalu udzur sepanjang tahunnya sehingga tidak bisa menyelesaikan utang puasa Ramadhan. Penyebabnya, wanita tersebut sedang hamil saat puasa dan setelah Ramadhan waktunya menyusui anaknya.
“Jadi, Anda kalau dalam setahun ini punya udzur, lalu Anda tertunda mengqadha, Anda tidak dosa,” jelas Buya Yahya.
“Tapi kalau Anda nganggur, sakit nggak, hamil nggak, bepergian juga nggak, Anda punya utang (puasa). Hei! kalau Anda gak bayar sampai Ramadhan berikutnya, Anda dosa, sehingga utang anda tetap utang, kemudian Anda membayar fidyah,” tutur Buya Yahya.
Jika Sakit atau Hamil yang Sebabkan Tidak Bisa Qadha Puasa
Buya Yahya mengatakan, sakit bukan sesuatu yang diinginkan umat Islam. Sakit adalah pemberian dari Allah SWT. Maka, ketika dia tidak puasa Ramadhan karena sakit (udzur), dia boleh mengqadhanya kapan saja selama belum menginjak Ramadhan berikutnya. Dalam kata lain, tidak harus disegerakan menyelesaikan qadha puasanya.
“Jika ternyata dia masuki di hari raya, dia tertimpa udzur yang lain lagi, sakit lagi sampai Ramadhan, maka dia (yang) punya utang lima hari tidak terkena apapun, tidak harus bayar fidyah. Karena apa? Di waktu yang ia harus membayar qadha tapi dia juga sakit,” jelas Buya Yahya.
“Kecuali Anda terbukti ada lima hari yang sehat tapi tidak puasa di sepanjang tahun itu. Maka, karena ada waktu Anda untuk mengqadha puasa dan Anda tidak mengqadha puasa, karena inilah Anda membayar fidyah. Utangnya tetap lima hari puasa, Anda bayar satu hari puasa (ditambah) satu mud (makanan pokok kepada fakir miskin),” tambah Buya Yahya.
Jika memang sakitnya sepanjang Syawal hingga Sya’ban, dia tetap memiliki kewajiban mengqadha puasa tapi tidak harus bayar fidyah. Hal ini juga berlaku bagi yang udzur hamil, yang tidak mampu membayar qadha puasa Ramadhan.
“Hamil adalah udzur, maka karena dia udzur tidak wajib saat itu dia mengqadhanya. Nanti kalau sudah terbebas dari kandungannya. Sampai Ramadhan dia baru lahir, ya nanti setelah Syawal diqadha, gak wajib bayar apapun, karena sepanjang bulan Syawal sampai Sya’ban Ramadhan ada udzur lagi (hamil),” tutur Buya Yahya.
Beda halnya dengan orang yang tidak punya udzur. Jika dia tidak tuntas mengqadha puasa hingga Ramadhan berikutnya, maka dia wajib melakukan puasa sejumlah hari yang ditinggalkan dan ditambah membayar fidyah kepada fakir miskin.
Wallahu a’lam.