Masyarakat Baduy Minta RUU Desa Adat Segera Disahkan

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat Baduy menyuarakan harapan agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat. Permintaan tersebut disampaikan dalam rangkaian kegiatan Seba Baduy 2025 yang digelar pada awal Mei lalu, sebagai bentuk aspirasi kolektif untuk memperkuat perlindungan terhadap wilayah adat dan menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kanekes.

"Kami hoyong (kepingin) diakui, dilindungi, hoyong di khususkan RUU desa adat, perda adat, maupun tingkat Lebak, tingkat provinsi, tingkah nasional. Kami hoyong dipercepatna (dipercepat)," kata Jaro Oom yang menjabat Jaro Pamarentahan Baduy, dalam acara Seba Baduy, Sabtu, 3 Mei 2025.

Dalam kegiatan tahunan yang sarat nilai budaya dan adat tersebut, perwakilan masyarakat Baduy menyampaikan bahwa keberadaan UU yang mengatur tentang masyarakat hukum adat dinilai penting, khususnya untuk menjamin pengakuan hukum terhadap komunitas adat yang masih memegang teguh prinsip hidup turun-temurun. Ketiadaan payung hukum yang tegas dikhawatirkan akan berdampak pada kerentanan wilayah adat terhadap ancaman eksternal, termasuk eksploitasi lahan dan degradasi lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, masyarakat Kanekes juga menekankan pentingnya menjaga kelestarian kawasan hutan dan ekosistem di wilayah Banten, terutama di sekitar Ujung Kulon, Pulomanuk, Gunung Honje, dan Gunung Pulosari. Wilayah-wilayah tersebut dinilai memiliki fungsi ekologis yang vital, tidak hanya bagi masyarakat adat tetapi juga bagi keberlanjutan lingkungan hidup secara lebih luas. Salah satu contoh kawasan yang disebutkan adalah Ujung Kulon, yang menjadi habitat satwa langka seperti badak bercula satu.

Dalam pernyataan yang disampaikan secara kolektif, masyarakat Baduy juga meminta pemerintah daerah dan pusat untuk mempercepat pembentukan peraturan yang mengakui keberadaan desa adat. Mereka berharap kebijakan tersebut tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga dilengkapi dengan peraturan daerah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Langkah ini dianggap krusial untuk memperkuat posisi hukum masyarakat adat dalam menjaga wilayahnya dari berbagai bentuk kerusakan.

Selain aspek perlindungan hukum dan lingkungan, masyarakat Baduy juga menyoroti kebutuhan fasilitas kesehatan yang lebih memadai di wilayah sekitar permukiman mereka. Mereka mengungkapkan keinginan agar obat penawar bisa ular dapat tersedia di fasilitas kesehatan terdekat. Hal ini disampaikan sebagai bentuk kekhawatiran atas potensi risiko kesehatan yang dihadapi warga, terutama mengingat wilayah tempat tinggal mereka yang berada di sekitar kawasan hutan, di mana insiden gigitan ular bisa terjadi sewaktu-waktu.

Menanggapi aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Kanekes, pemerintah Provinsi Banten melalui Gubernur Andra Soni menyatakan komitmen untuk merespons kebutuhan tersebut. Pemerintah daerah menyatakan akan segera menginstruksikan Dinas Kesehatan untuk memastikan ketersediaan obat penawar bisa ular di puskesmas-puskesmas terdekat dengan wilayah adat Baduy. Tindakan ini diambil sebagai bentuk dukungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat adat.

Seba Baduy 2025 sendiri merupakan bagian dari tradisi tahunan masyarakat Kanekes yang dikenal sebagai Seba Gede. Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari seribu warga, termasuk puluhan perwakilan Baduy Dalam yang melakukan perjalanan kaki dari Leuwidamar, Kabupaten Lebak, menuju Pendopo Lama Gubernur Banten di Kota Serang. Kehadiran mereka dalam perhelatan ini menjadi simbol penyerahan amanat masyarakat adat kepada pemerintah serta bentuk komunikasi tradisional antara masyarakat Kanekes dan pemangku kebijakan.

Mengenal Suku Baduy

Suku Baduy merupakan kelompok masyarakat adat yang menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Komunitas ini dikenal memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan alam serta menjalani kehidupan yang diatur berdasarkan nilai-nilai adat dan tradisi leluhur.

Secara umum, Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kedua kelompok ini memiliki kesamaan dalam menjunjung tinggi prinsip hidup sederhana serta menjadikan alam sebagai pusat dari seluruh aktivitas kehidupan mereka.

Namun, Baduy Dalam menjalani kehidupan yang lebih tertutup terhadap pengaruh luar, seperti tidak menggunakan teknologi modern, menolak kendaraan, serta tidak menggunakan peralatan elektronik. Di sisi lain, Baduy Luar memiliki keterbukaan yang lebih tinggi dalam berinteraksi dengan masyarakat luar, meskipun tetap berpegang pada adat istiadat.

Salah satu prinsip utama yang dipegang oleh masyarakat Baduy adalah menjaga keseimbangan alam. Filosofi hidup mereka dapat dilihat dari pandangan adat yang menyatakan bahwa gunung tidak boleh dirusak, lembah harus dijaga, dan segala sesuatu yang telah ada di alam semesta tidak boleh diubah secara sembarangan. Prinsip ini menjadi dasar dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menjadi bagian dari sistem kepercayaan yang mereka anut.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Baduy tidak mengikuti sistem pendidikan formal. Anak-anak diajarkan berbagai pengetahuan adat, nilai kepercayaan, serta keterampilan dasar melalui metode lisan yang dikenal sebagai papagahan, yaitu sistem pengajaran antaranggota komunitas. Mereka menggunakan bahasa Sunda dengan dialek khas Baduy dalam komunikasi sehari-hari.

Dari segi kepercayaan, mayoritas masyarakat Baduy menganut Sunda Wiwitan, suatu sistem kepercayaan lokal yang mengakui keberadaan Tuhan, makhluk halus, dan ajaran para leluhur. Kepercayaan ini menjadi fondasi dalam menjalani kehidupan spiritual dan sosial masyarakat.

Mila Novita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |