TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bakal memerintahkan TNI untuk mendistribusikan obat yang diproduksi oleh militer ke Koperasi Desa Merah Putih. Rencana itu Sjafrie sampaikan saat rapat kerja bersama Komisi I DPR pada Rabu, 30 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dengan adanya koperasi desa yang dibentuk, maka apotek-apoteknya kami suplai dari obat yang kami buat di pabrik terpusat," ujarnya.
Dia mengatakan, nantinya TNI bakal memproduksi obat-obatan melalui pabrik farmasi pertahanan negara. Institusi militer, kata dia, akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memproduksi obat-obatan itu.
Sjafrie berujar, rencana itu akan dimulai dengan merevitalisasi laboratorium farmasi milik TNI. Rencana Sjafrie ini muncul dari keresahannya terhadap harga obat di Indonesia yang disebut mahal.
Menurut dia, produksi obat dari TNI yang didistribusikan ke pasaran ini bisa membantu masyarakat. "Sehingga nanti produksi obat yang akan kami kerjakan bisa kami sumbangkan kepada rakyat Indonesia," kata Sjafrie.
Lembaga farmasi TNI merupakan unit kerja yang berada di direktorat atau dinas kesehatan angkatan. Lembaga ini dipimpin oleh kepala lembaga farmasi TNI, yang bertanggung jawab kepada direktur atau kepala dinas kesehatan angkatan.
Setidaknya tercatat ada sejumlah lembaga farmasi milik TNI yang aktif. Dua di antaranya milik angkatan darat, dan angkatan laut serta udara masing-masing satu.
Di angkatan darat terdapat Lembaga Farmasi Pusat Kesehatan TNI AD (Lafipuskesad) dan Lembaga Biomedis Direktorat Kesehatan TNI AD (Labiomed Ditkesad). Sementara di angkatan laut ada Lembaga Farmasi Dinas Kesehatan TNI AL (Lafial), dan di angkatan udara yaitu Lembaga Farmasi Dinas Kesehatan TNI AU (Lafiau).
Adapun tugas TNI memproduksi obat-obatan telah diatur melalui Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 10 Tahun 2014. Regulasi itu mengatur tentang standarisasi peralatan kesehatan lembaga farmasi milik TNI.
Dalam peraturan menteri itu, setidaknya ada enam tugas yang menjadi kewenangan militer dalam konteks lembaga farmasi. Di antaranya produksi, pengawasan mutu, penyimpanan, pemeliharaan, penelitian serta pengembangan, dan tugas pendidikan maupun latihan.
Dalam peraturan itu, tidak ada tugas bagi TNI untuk mendistribusikan obat yang diproduksinya melalui lembaga farmasi militer. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengkhawatirkan rencana itu dapat menggangu ekosistem industri farmasi nasional.
"Jangan sampai kehadiran lembaga militer dalam produksi dan distribusi obat malah mematikan pelaku usaha," kata dia saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025.
Dia mengatakan, pelaku usaha di bidang farmasi selama ini telah tunduk pada regulasi ketat dan mekanisme pasar. Karena itu, Fahmi mengimbau agar adanya intervensi dari negara untuk meminimalkan kekhawatiran itu.
"Intervensi negara sebaiknya bersifat korektif dan melengkapi, bukan menggantikan fungsi aktor yang sah secara struktural," ucapnya.
Selain itu, Fahmi turut menyoroti ihwal keinginan pemerintah yang menggandeng Koperasi Desa Merah Putih untuk mendistribusikan obat produksi tentara. Menurut dia, perlu ada penjelasan yang transparan ihwal skema dan tujuannya, agar tidak menimbulkan keraguan publik.
"Apakah (penggunaan jalur koperasi) ini sepenuhnya bentuk intervensi sosial atau justru membuka ruang komersialisasi terselubung?" kata Fahmi.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Amelia Anggraini, menilai rencana TNI memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan ini harus dipastikan telah matang. Baik secara implementasi maupun pengawasannya.
"Yang perlu diperhatikan adalah pengawasan ketat sesuai standar yang ditentukan BPOM," katanya saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025.
Legislator dari fraksi Partai NasDem ini berujar, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan juga perlu memerhatikan kesiapan infrastruktur bagi militer sebelum memproduksi obat-obatan. Termasuk, ujar dia, ketersediaan bahan bakunya.