Ragam Reaksi terhadap Putusan MK soal UU ITE

13 hours ago 4

MAHKAMAH Konstitusi atau MK menerbitkan dua putusan terbaru atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Keduanya adalah putusan perkara nomor 105/PUU-XXII/2024 dan nomor 115/PUU-XXII/2024. Kedua putusan MK itu dibacakan pada Selasa, 29 April 2025.

Lewat putusan perkara nomor 105/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan pasal menyerang kehormatan dalam UU ITE tidak berlaku untuk pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi. MK menyatakan yang dimaksud frasa “orang lain” dalam Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) UU ITE itu adalah individu atau perseorangan.

MK menyebutkan, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27A UU ITE harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. “Sepanjang tidak dimaknai kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan.

Adapun melalui putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024, MK memutuskan tindakan menyebarkan berita bohong atau hoaks menggunakan sarana teknologi informasi dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber. Itu merupakan penjelasan MK atas makna kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

Mahkamah menyatakan kerusuhan atau keributan di ruang digital atau siber tidak masuk dalam delik pidana UU ITE. Hal itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara itu.

Putusan MK atas sejumlah pasal dalam UU ITE itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, dari lembaga hak asasi manusia (HAM), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga partai politik.

Amnesty International Indonesia: Pemerintah Berkewajiban Merevisi UU ITE

Amnesty International Indonesia turut menanggapi dua putusan terbaru MK soal sejumlah pasal dalam UU ITE. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai perlu ada intervensi lebih lanjut dari pemerintah dan DPR atas putusan tersebut.

“Pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menindaklanjuti putusan ini dengan mengevaluasi dan merevisi UU ITE secara menyeluruh termasuk pasal-pasal bermasalah lainnya,” kata Usman dalam keterangan tertulis pada Rabu, 30 April 2025.

Usman menuturkan revisi tersebut termasuk atas pasal tentang ujaran kebencian dan penodaan agama yang sering dijadikan sebagai alat kriminalisasi ekspresi damai baik di ruang fisik maupun digital. Dia juga mendesak penghapusan atau pengubahan aturan-aturan lain yang membuka ruang kriminalisasi terhadap ekspresi warga. “Agar tidak lagi digunakan sebagai alat pembungkam suara-suara kritis,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, selama periode 2019-2024, tercatat minimal 530 kasus penggunaan UU ITE untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, dengan total 563 korban. Sebagian besar tindakan ini dilakukan oleh patroli siber Polri (258 kasus, 271 korban) dan diikuti oleh laporan dari pemerintah daerah (63 kasus, 68 korban).

Amnesty International Indonesia mengapresiasi putusan MK sebagai lembaga yudikatif yang berperan dalam mengurangi risiko pelanggaran HAM lewat penggunaan pasal pencemaran nama baik oleh negara dan korporasi secara sewenang-wenang. Meski demikian, Usman memandang putusan MK tersebut semakin menegaskan terdapat masalah kronis dalam implementasi UU ITE di masyarakat.

“Ancaman terhadap kebebasan berekspresi akan tetap ada sebelum pemerintah dan DPR merevisi pasal pencemaran nama baik tersebut agar menutup celah bagi siapa pun menyalahgunakannya untuk membungkam kritik di masyarakat,” tuturnya.

Usman juga memandang putusan MK sebagai momentum bagi negara untuk memperbaiki relasi antara negara dan warga negara. Dalam hal ini, negara dapat menunjukkan kehadirannya sebagai pelindung hak-hak warga, termasuk kebebasan berekspresi, bukan sebagai pihak yang menindas kebebasan tersebut.

PKS: Putusan MK Cegah Kriminalisasi terhadap Kritik Publik

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengapresiasi putusan MK ihwal kritik dan menyerang kehormatan dalam UU ITE. Juru bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan putusan MK itu mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap kritik publik.

Kholid mengatakan putusan Mahkamah itu menjadi tonggak penting dalam memperkuat kebebasan berekspresi. Dia menganalogikan kritik publik sebagai vitamin. “Mungkin terasa pahit, tapi justru itulah yang menyehatkan demokrasi,” kata dia dalam keterangannya pada Jumat, 2 Mei 2025.

Menurut dia, negara yang kuat justru dibangun dari keberanian dan kejujuran dalam mendengar kritikan publik. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengatakan nilai-nilai substantif dari demokrasi menjadi terawat dengan adanya putusan MK ini.

Dia mengatakan, melalui putusan itu, maka kritik yang ditujukan kepada institusi negara tidak bisa lagi dipidana, hanya karena dianggap menyerang nama baik. “Ini sebagai koreksi konstitusional yang arif. Kita butuh hukum yang melindungi, bukan menakut-nakuti rakyat,” ucapnya.

Menurut dia, fondasi utama dalam demokrasi ialah kebebasan berekspresi. Dia khawatir bila mengkritik pemerintah bisa dipidanakan, maka akan menghambat kemajuan bangsa. Di sisi lain, kata dia, perlu adanya penguatan literasi digital menyusul putusan MK tersebut. Kholid berujar hal itu bertujuan agar ruang kebebasan yang kini dimiliki tidak disalahgunakan.

Dia menuturkan kebebasan berekspresi semestinya diiringi dengan kemampuan publik untuk menyampaikan pendapat secara faktual, etis, dan konstruktif. “Bukan sekadar melampiaskan emosi atau menyebar disinformasi,” katanya.

Sufmi Dasco Ahmad: Kita Harus Menjaga Perilaku

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lembaga legislatif menghormati putusan MK bahwa pasal delik pidana ihwal menyerang kehormatan dalam UU ITE tak berlaku bagi pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi.

Dasco menuturkan putusan MK bersifat final dan mengikat. Dia lalu memberikan pesan soal putusan tersebut. “Nah walaupun kemudian yang diputuskan bunyinya seperti itu, tetapi kita perlu juga sebagai bangsa Indonesia, orang timur, kita sama-sama tentunya harus menjaga perilaku,” kata Dasco di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 30 April 2025.

Ketua Harian Partai Gerindra itu mewanti-wanti agar masyarakat tidak melewati batas saat menyampaikan pendapat saat beraktivitas di media digital. “Tentunya juga ada batas-batas yang perlu kita sadari bersama sebagai masyarakat Indonesia, harus kita batasi,” ujarnya.

ICJR: Aparat Hukum Harus Tinjau Ulang Pasal-pasal yang Diubah MK

Adapun Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiel terhadap UU ITE. MK mengubah sejumlah pasal di UU ITE tersebut.

Peneliti ICJR, Nur Ansar, mengatakan aparat hukum harus meninjau ulang pasal-pasal yang telah diubah MK agar ada kepastian hukum bagi masyarakat. “Secara langsung memberikan mandat kepada penegak hukum untuk teliti dalam menafsirkan tindak pidana itu,” kata Nur dalam keterangan resminya pada Rabu, 30 April 2025.

Menurut Nur, sudah ada tiga putusan MK tentang UU ITE, yakni nomor 78/PUU-XXI/2023, 105/PUU-XXII/2024, dan 115/PUU-XXII/2024. Ketiga putusan tersebut berkaitan dengan tindak pidana ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong dalam UU ITE. 

Dia menuturkan ketiganya harus menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menangani tindak pidana yang melanggar UU ITE. “Setelah putusan MK 78/PUU-XXI/2023 yang menghapus pasal berita bohong, Pasal 263 dan Pasal 264 dalam KUHP 2023 tentang berita bohong juga harus dihapuskan,” kata Nur.

Dengan putusan MK 105/PUU-XXII/2024 yang memperketat unsur penghinaan, Pasal 27A UU ITE dan Pasal 433 KUHP 2023 harus juga diperketat. Kedua pasal itu tidak untuk melindungi lembaga negara, pemerintah ataupun kelompok orang. Pasal ini menimbulkan iklim ketakutan.

“Maka Pasal 218-219 tentang penyerangan kehormatan presiden atau wakil presiden dan Pasal 240-241 tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara harus ditinjau ulang untuk dihapuskan,” katanya.

Putusan MK 105/PUU-XXII/202, kata dia, juga memperketat unsur ujaran kebencian secara elektronik. Ujaran kebencian harus merupakan ujaran yang secara substantif memuat tindakan atau penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang ditujukan untuk umum, sehingga pengetatan harus dilakukan dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 243 KUHP 2023.

Hanin Marwah, Novali Panji Nugroho, Dian Rahma Fika, dan Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Mengapa RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |