TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Marsudi Wahyu Kisworo mengungkap intimidasi dari beberapa anggota Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP) sebelum dirinya dicopot dari jabatan Rektor UP. Marsudi menuturkan, orang tersebut kerap memaksanya mengikuti kehendak yayasan, termasuk mengaktifkan kembali Edie Toet Hendratno (ETH), eks rektor yang tersangkut dugaan kekerasan seksual.
"Kalau tidak tunduk, saya diancam akan dievaluasi," kata Marsudi saat diwawancara Tempo Senin malam, 28 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marsudi menolak perintah itu dengan alasan proses hukum ETH belum selesai. Penolakan itu, kata dia, menjadi awal ketegangan dengan yayasan. "Saya lindungi korban, malah dianggap tidak loyal," ujarnya.
Menurut Marsudi, pencopotannya dari posisi rektor UP penuh kejanggalan. Penilaian kinerjanya disebut subjektif dan tidak melalui mekanisme statuta yang sah. Selain itu, pihak Senat juga tidak pernah mengajaknya bicara atau mengirimkan pemberitahuan.
Dia juga mengklaim semua alasan pemberhentian yang dicantumkan dalam surat keputusan (SK) itu fitnah. "Alasannya dibuat-buat. Evaluasi kinerja itu subjektif, yang objektif lihat saja indeks kinerja universitas di Dikti, UP naik 25–30 persen tahun ini," ujarnya.
Marsudi berencana mengambil langkah hukum atas pemberhentian ini. Ia menilai prosedur pemberhentiannya cacat hukum karena tidak melibatkan Senat Universitas. Meski menghormati keputusan itu, ia akan melapor ke Kemendikti dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi.
Menanggapi pencopotan Marsudi sebagai Rektor Universitas Pancasila, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikti Khairul Munadi mengatakan, pemerintah belum menerima laporan resmi. "Kami perlu mencermati fakta yang ada," ujar Khairul.
Tempo masih berupaya meminta konfirmasi dari Ketua YPP-UP Siswono Yudo Husono dan hubungan masyarakat Universitas Pancasila. Namun hingga berita ini ditulis, mereka belum merespons pemberhentian sepihak Marsudi sebagai rektor.
Adapun pencopotan Marsudi terjadi di tengah kasus kekerasan seksual eks rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno. Polda Metro Jaya telah mengusut kasus dugaan kekerasan seksual Edie Toet terhadap dua pegawai Universitas Pancasila berinisial RZ dan DF.
Laporan RZ teregister dengan nomor LP/B/193/I/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA pada 12 Januari 2024 sementara laporan DF teregister di Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 29 Januari 2024. Akan tetapi penanganan dua laporan ini tak jelas ujungnya sampai saat ini karena belum ada penetapan tersangka.
Edie Toet telah membantah tuduhan pelecehan seksual terhadap dua pegawai UP itu. “Enggak, enggak, enggak lah,” kata dia kepada wartawan, saat diperiksa di Polda Metro Jaya pada Februari tahun lalu. Ia juga menyatakan akan menghormati proses hukum yang berjalan. "Saya guru besar hukum, jadi saya harus patuh pada aturan,” katanya.
Lewat mantan pengacaranya, Faizal Hafied, Edie Toet sempat menuding ada muatan politis di balik kasusnya. Alasannya, ia hendak bertarung di pemilihan rektor Universitas Pancasila pada Maret 2024.
Terbaru, jumlah pelapor Edie bertambah. Dua orang berinisial AM dan IR melaporkan Edie Toet ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri pada Jumat, 25 April 2025. Mereka didampingi kuasa hukumnya, Yansen Ohoirat.
Yansen menjelaskan kedua kliennya tersebut mengalami pelecehan seksual di waktu dan tempat yang berbeda. Pelecehan terhadap IR terjadi pada 2019, di sebuah lokasi di Jakarta Selatan. Sedangkan AM mengaku dilecehkan pada Februari 2024, di sebuah mal di kawasan yang sama.
Berbeda dengan dua korban kekerasan seksual sebelumnya yang merupakan pegawai Universitas Pancasila, dua korban baru ini adalah karyawan swasta yang pernah menjalin kerja sama dengan pihak kampus. Laporan AM teregister dengan nomor STTL/196/IV/2025/BARESKRIM tertanggal 25 April 2025. Sementara laporan IR masih menunggu pendalaman dan direncanakan akan dilanjutkan pekan depan.
Pilihan Editor: Alarm Nilai Integritas Sekolah dan Universitas yang Merosot