SEJUMLAH elemen masyarakat menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI ke Mahkamah Konstitusi atau MK. Mereka terdiri kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, hingga putri Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wulandari Wahid atau Inayah Wahid.
RUU TNI disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025. Ada tiga pasal, berdasarkan penjelasan DPR, yang masuk dalam revisi UU TNI, yaitu Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53. Ketiga pasal itu mengatur tentang kedudukan TNI, perluasan pos jabatan sipil yang bisa diduduki tentara aktif, dan perpanjangan masa usia pensiun prajurit.
DPR mengesahkan revisi UU TNI di tengah gelombang penolakan masyarakat sipil. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan revisi UU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir bila tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta agar TNI tetap di barak.
Sebagian dari mereka kemudian menggugat UU TNI ke MK. Apa alasan mereka?
Mahasiswa FH UGM Nilai UU TNI Merugikan Masyarakat
Empat mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) mengajukan permohonan uji materi UU TNI ke MK. Mereka menilai isi dan substansi dari UU TNI masih problematik dan merugikan masyarakat umum.
Keempat orang penggugat itu adalah Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan. Mereka menggugat UU TNI secara materi pada Kamis, 8 Mei 2025.
Sebelumnya, mereka mengajukan permohonan formil UU TNI terhadap UU NRI 1945 pada Jumat, 2 Mei lalu. Dalam permohonan uji materi terhadap UU TNI, Imam mengatakan ada tiga pasal yang dipersoalkan. Di antaranya ialah Pasal 7 ayat 2 angka 9, Pasal 7 ayat 2 angka 15, dan Pasal 47 ayat 1 UU TNI.
Pasal 7 ayat 2 angka 9 mengatur tentang tugas pokok TNI di operasi militer selain perang, dalam membantu tugas pemerintahan di daerah. Frasa “membantu tugas pemerintahan di daerah” itu salah satunya dimaknai sebagai mengatasi masalah akibat pemogokan.
Imam menilai beleid itu memperluas kewenangan tentara untuk tugas-tugas di luar fungsi pertahanan. “Mengatasi masalah akibat pemogokan tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman atau urusan kewenangan TNI,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Kamis, 8 Mei 2025.
Kemudian, Pasal 7 ayat 2 angka 15, yang mengandung frasa “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber”, kata dia, bersifat multitafsir sehingga tercipta ruang ketidakpastian. "Kami tidak mengetahui secara pasti batasan dan sejauh mana keterlibatan TNI diperbolehkan dalam ranah siber,” ucapnya.
Pasal terakhir yang dinilai problematik dan merugikan masyarakat ialah Pasal 47 ayat 1 UU TNI. Beleid itu mengatur tentang perluasan tentara dalam kementerian atau lembaga sipil. Menurut Imam, aturan itu menimbulkan dualisme fungsi prajurit aktif sebagai alat negara dan lembaga negara di waktu bersamaan. Dia mengatakan tidak adanya kepastian hukum yang didapat ihwal mekanisme dan pertanggungjawaban kerja prajurit aktif di jabatan sipil tersebut.
Putri Gus Dur dan Koalisi Masyarakat Sipil Sebut UU TNI Hidupkan Dwifungsi Militer
Inayah Wulandari Wahid atau Inayah Wahid juga menggugat UU TNI ke MK pada Rabu, 7 Mei 2025. Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan putri Gus Dur itu adalah satu dari dua pemohon gugatan UU TNI. Dua pemohon lain, yaitu mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti dan mahasiswa bernama Eva.
Ketiganya menjadi pemohon dan mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras, dan Imparsial. “Kami mewakili tiga pemohon mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 3 tahun 2025 tentang TNI,” kata anggota koalisi itu di Gedung MK, Rabu.
Hussein mengatakan UU TNI menghidupkan dwifungsi militer, terutama di Pasal 7 mengenai penambahan operasi militer selain perang. Dia menuturkan koalisi tidak memasalahkan TNI masuk ranah sipil, tetapi pelibatan TNI dalam ruang sipil harus diatur dengan baik. “Kalau tidak, dwifungsi bisa kembali bangkit,” kata dia.
Kuasa hukum koalisi sipil, Viola Reininda, mengatakan revisi UU TNI melanggar janji politik dan hukum dari reformasi yaitu menghapus dwifungsi militer. Padahal reformasi mengamanatkan militer tidak ikut campur dalam politik. “Sehingga, militer bisa lebih profesional,” ujarnya.
Manajer Program Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menyebutkan pembahasan revisi UU TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dengan baik. Dalam proses pembahasannya, kata dia, surat presiden membahas revisi UU TNI keluar lebih dahulu sebelum didaftarkan dalam Prolegnas 2025.
Pembahasan revisi UU TNI juga tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Masyarakat tidak dilibatkan memberikan masukan. Bahkan, pembahasan dilakukan secara tertutup. “Rapat justru dilakukan dalam hotel,” kata dia.
Sedangkan pemohon gugatan Fatia Maulidiyanti mengatakan UU TNI melanggar tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi. Dia khawatir, bila TNI masuk sipil, akan berbahaya bagi situasi sipil. Dia mencontohkan pelibatan militer dalam proyek strategis nasional dan konflik Papua. Dia khawatir keterlibatan militer membuat banyak terjadi pelanggaran. “Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk,” kata dia.
Alasan Mahasiswa Unpad dan Batam Gugat UU TNI
Sementara itu, sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) juga telah mengajukan permohonan uji formil UU TNI ke MK. Permohonan tersebut telah teregistrasi dengan nomor 73/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025.
Permohonan tersebut diajukan oleh Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Muhammad Akmal Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. “Kami melakukan permohonan uji formil ini sebagai bentuk tanggung jawab akademik kami sebagai mahasiswa fakultas hukum,” kata Rasyid dikutip pada Selasa, 29 April 2025.
“Kami ingin memastikan proses pembentukan undang-undang dijalankan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar dia menambahkan.
Mereka berharap langkah ini dapat mendorong akuntabilitas legislasi di Indonesia dan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Terpisah, enam mahasiswa Batam akan mengajukan uji materiil terhadap UU TNI ke MK. Mereka adalah Hidayatuddin sebagai pemohon, Respati Hadinata, serta empat kuasa hukumnya, yakni Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda, Jamaludin Lobang, dan Otniel Raja Maruli Situmorang. Langkah ini dilakukan setelah melalui aksi demonstrasi dan menemui anggota DPR saat reses.
Risky Kurniawan dari Student for Judicial Review (SJR) mengatakan pihaknya telah menerima Akta Pengajuan Pemohon Nomor 68/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025 dan Akta Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 58/PUU/PAN.MK/ARPK/04/2025. Dia menuturkan MK akan menetapkan hari sidang pertama paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat, sesuai dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.
Selain meminta Mahkamah menyatakan UU TNI inkonstitusional, para pemohon menuntut ganti rugi sebesar Rp 50 miliar dari DPR, Rp 25 miliar dari presiden, dan Rp 5 miliar dari Badan Legislasi DPR untuk disetor ke kas negara. Mereka juga mengajukan dwangsom atau uang paksa harian jika putusan MK tidak dijalankan, masing-masing Rp 25 miliar untuk DPR, Rp 12,5 miliar untuk presiden, dan Rp 2,5 miliar untuk Baleg DPR.
Novali Panji Nugroho, Hendrik Yaputra, dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alasan Mendikdasmen Nilai AI dan Koding Penting Masuk Kurikulum