TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri RI, H.E. Arrmanatha Nasir, menegaskan bahwa Indonesia tetap kokoh mengejar pembangunan berkelanjutan meskipun menghadapi berbagai tantangan global. Dalam pernyataannya di Manila, 29 April 2025, Armanatha memaparkan pencapaian signifikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah.
"Pada tahun 2024, sebagai negara berkembang, Indonesia mencapai pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen selama dekade terakhir, mengurangi kemiskinan menjadi 8,57 persen, memperbaiki distribusi pendapatan, mencakup lebih dari 90 persen populasi dengan program asuransi kesehatan nasional, serta mencapai ekonomi digital senilai 90 miliar dengan 10 perusahaan rintisan unicorn," ujar Wamenlu RI dalam pertemuan tingkat tinggi Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Berpendapatan Menengah (Middle-Income Countries/MICs) yang diselenggarakan di Manila, Filipina, Selasa, 29 April 2025.
Keberhasilan ini merupakan hasil dari reformasi mendalam, pengelolaan fiskal yang bijaksana, dan komitmen politik yang kuat dalam mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke dalam kebijakan pembangunan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Arrmanatha juga menyoroti tantangan global yang kini dihadapi negara-negara berpendapatan menengah (MIC), termasuk persaingan kekuatan besar yang semakin ketat, meningkatnya proteksionisme, defisit kepercayaan yang besar, dan melemahnya lembaga multilateral.
"Jika MIC, gagal menghentikan kemerosotan ini, lebih dari 100 negara, yang mencakup 75 persen populasi global, akan terperangkap dalam perangkap pendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang terus tinggi, kemiskinan yang terus-menerus, pertumbuhan yang rendah, dan utang luar negeri yang tidak berkelanjutan," katanya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Wamenlu menekankan tiga langkah penting. Pertama, membangun platform kolaborasi konkret di antara negara MIC untuk mendorong kerja sama Selatan-Selatan dan meningkatkan akses ke pembiayaan global. Kedua, mempertahankan multilateralisme dan mendorong reformasi sistem multilateral agar lebih mencerminkan realitas dan aspirasi negara berkembang. Ketiga, meningkatkan perdagangan intra di antara negara-negara berpendapatan menengah yang kini berkontribusi lebih dari 57 persen dari PDB global.
"Di dunia yang semakin terfragmentasi, negara-negara MIC tidak boleh menjadi penumpang ketidakpastian, negara-negara MIC harus menjadi pilot masa depan global yang baru dan inklusif," tegas Arrmanatha mengakhiri pernyataannya.