Alasan Fadli Zon Soal Penulisan Ulang Sejarah: 26 Tahun Akhiri Kekosongan Sejarah

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia menjadi salah satu topik bahasan yang menjadi kontroversi pada saat ini. Proyek ini diklaim menjadi "hadiah" ulang tahun untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini akan ditargetkan untuk selesai dalam HUT nanti. Penulisan ulang ini nantinya akan melingkupi 11 jilid yang dituliskan dalam satu draft buku besar yang dilakukan oleh 113 penulis dari beragam latar belakang akademik 20 editor jilid, dan tiga editor umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek ini juga dianggarkan dengan beban biaya sebesar Rp 9 miliar dan sudah disepakati dalam Rapat Kerja Kementrian Kebudayaan dengan Komizi X DPR RI. Fadli Zon sendiri menyebutkan bahwa urgensi dari pengadaan proyek ini untuk menghapus bias kolonial.

“Penulisan ulang sejarah bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” kata Fadli Zon dikutip dari laman Kementerian pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Keharusan ini juga ditujukan untuk menguatkan identitas nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.

Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk membentuk memori kolektif bangsa. Nantinya, untuk draft yang sudah selesai dikerjakan dan sudah mencapai 70 persen akan dilakukan uji publik.

Fadli Zon: 26 Tahun Kekosongan Sejarah

Fadli zon sendiri mengungkapkan bahwa proyek ini penting karena Indonesia sudah absen lebih dari 26 tahun. Keabsenan ini ia ukur dari ketiadaan program penulisan sejarah nasional yang akhirnya melahirkan sejarah yang "setengah cerita" saja.

“Kita tidak bisa terus mewariskan sejarah yang setengah jadi kepada generasi berikutnya,” katanya, dikutip dari laman Menpan, 28 Mei 2025.

Selama kekosongan 26 tahun ini, Fadli menganggap bahwa banyak temuan baru atas sejarah Indonesia yang agaknya perlu untuk dituliskan ulang. Serkiranya dengan penulisan ulang ini, masyarakat terutama generasi mudah bisa mendaptkan informasi baru yang berperspektif para ahli dan arkeolog lokal, bukan barat.

“Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air," tertulis dalam draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia.

Untuk menghilangkan kekosongan ini, Kementerian Kebudayaan juga bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Ketua Umum MSI Agus Mulyana juga menyampaikan bahwa masih banyak narasi sejarah yang belum lengkap ataupun keliru sehingga proyek penulisan ulang sejarah ini penting untuk dilaksanakan.

Pernulisan ulang sejarah Indonesia ini menuai pula kritik dari berbagai pihak. Salah satunya dari arkeolog Harry Truman Simanjuntak yang sudah tak lagi bergabung dalam Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Lewat sebuah surat yang dikirimnya pada 22 Januari 2025, dia mengungkap alasan pribadi dan akademis pengunduran dirinya.

“Saya tidak akan terlibat lagi di situ sebagai editor maupun kontributor tulisan,” kata Profesor Riset di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional--kini telah melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)--itu saat dikonfirmasi pada Jumat, 23 Mei 2025.

Sebelumnya, Harry Truman menempati posisi sebagai editor untuk bagian jilid satu tentang sejarah. Tetapi belum sampai menulis konten tulisan, dia memutuskan ke luar karena ada ketidaksesuaian secara akademis. Saat itu, belum juga genap sepuluh hari tim bekerja.

Hal lain yang tidak bisa diterima oleh Truman adalah penggunaan satu istilah seperti ini justru harus dikonsultasikan dan meminta dukungan kepada menteri. Kemudian, penulisan sejarah ini juga direncanakan berhenti sampai masa pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo--yang dinilainya rawan menjadi bias dalam penulisan sejarah, terlebih lagi yang bersangkutan masih hidup dan baru satu tahun lepas dari jabatannya.

"Maka dari itu independensi kepenulisan sejarah ini pun dipertanyakan," kata Direktur Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia ini menambahkan.

Haura Hamidah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Anggaran Rp 9 Miliar untuk 11 Jilid Buku Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |