TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyampaikan sejumlah keluhan terhadap sistem layanan keuangan di Indonesia. Sorotan terhadap sistem layanan keuangan yang tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 tersebut dianggap sebagai salah satu faktor penghambat perdagangan kedua negara.
Apa saja yang dikritik USTR terhadap sistem layanan keuangan di Indonesia? Berikut rinciannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, USTR menyoroti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 yang telah membatasi kepemilikan bank maksimal 40 persen oleh satu pemegang saham, baik pemegang saham domestik maupun asing. Mereka juga menyebut kewenangan OJK yang dapat memberikan pengecualian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021.
“Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021 telah meningkatkan batasan kepemilikan bank umum oleh asing menjadi 99 persen dengan terlebih dahulu mengkaji ulang unit pengawas perbankan di OJK,” kata USTR dalam laporannya.
Kedua, USTR juga menyinggung kepemilikan perusahaan pelaporan kredit swasta oleh asing hingga 49 persen yang diatur dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) Nomor 15/49/DPKL. Selain itu, Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 yang membatasi kepemilikan asing atas perusahaan pembayaran hingga 20 persen turut dipermasalahkan.
Ketiga, Peraturan BI Nomor 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway (NPG) mengharuskan seluruh transaksi debit dan kredit ritel diproses melalui lembaga switching GPN yang terletak di Indonesia dan mempunyai izin dari BI. Peraturan yang sama juga memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin mengantongi izin switching dalam GPN.
“Peraturan BI Nomor 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing membentuk perjanjian kemitraan dengan lembaga switching GPN Indonesia yang mempunyai izin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN,” ucap USTR.
Keempat, USTR pun menilai implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk semua pembayaran kode QR di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan penyedia pembayaran dan bank AS. Adapun penggunaan QRIS termaktub dalam Peraturan BI Nomor 21/2019.
“Selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI (QRIS), pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka. Termasuk, bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” ujar USTR.
Kelima, USTR melihat adanya hambatan perdagangan dan investasi dari penerbitan Peraturan BI Nomor 22/23/PBU/2020 mengenai Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025 yang berlaku efektif pada Juli 2021. Pasalnya, regulasi tersebut menerapkan kategorisasi berbasis risiko terhadap kegiatan sistem pembayaran dan sistem perizinan.
“Peraturan ini menerapkan batasan kepemilikan asing sebesar 85 persen untuk operator layanan pembayaran non-bank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi investor asing hanya boleh memiliki 49 persen saham,” kata USTR dalam laporannya.
Akibat Peraturan BI yang sama, para pemangku kepentingan juga menyatakan kekhawatiran mengenai kurangnya diskusi BI sebelumnya mengeluarkan beleid itu. Peraturan BI Nomor 22/23/PBU/2020 juga menetapkan batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran atau entitas usaha backend sebesar 20 persen.
Keenam, USTR turut mempersoalkan kebijakan BI yang mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN sejak Mei 2023. Selain itu, bank sentral Indonesia juga mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit oleh pemerintah daerah (pemda).
“Perusahaan pembayaran AS khawatir akan kebijakan tersebut yang dapat membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik dari AS,” ucap USTR.