Besok Konklaf Paus, Menengok Tradisi Asap Langit Kapel Sistina

5 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Setiap kali dunia menanti siapa yang akan menduduki posisi Paus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik, perhatian jutaan pasang mata tertuju pada langit-langit Vatikan. Tepatnya pada sebuah cerobong asap di puncak Kapel Sistina dalam prosesi konklaf.

Dari cerobong itulah, isyarat akan dikirim ke seluruh penjuru dunia: apakah Gereja telah memiliki Paus baru atau belum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tradisi ini telah menjadi bagian sakral dari proses pemilihan Paus atau konklaf. Konklaf, sebuah momen penting yang menyatukan liturgi, simbolisme, dan sejarah panjang Gereja Katolik.

Tapi, bagaimana awal mula praktik yang begitu unik ini?

Asal-usul Tradisi Asap di Gereja Katolik

Dilansir dari firstpost.com, tradisi asap ini telah ada sejak kurang dari 150 tahun lalu. Berdasarkan laporan dari St. Michael Society, sistem isyarat asap ini baru mulai diterapkan pada akhir abad ke-19, tepatnya pasca periode Il Risorgimento atau penyatuan wilayah Italia melalui kekuatan militer.

Kala itu, upaya penyatuan Italia menyebabkan terjadinya penaklukan Roma oleh tentara nasionalis, yang berdampak besar bagi Gereja Katolik. Wilayah kekuasaan Paus yang dulu meluas, dikenal sebagai Negara Gereja dan dipersempit drastis hingga hanya menyisakan area kecil yang sekarang dikenal sebagai Kota Vatikan.

Situasi ini menimbulkan ketegangan politik dan keagamaan. Paus Leo XII yang terpilih setelah peristiwa itu merasa enggan mengakui otoritas pemerintahan Italia yang baru. Sebagai bentuk protes, ia menolak menyampaikan pidato dari balkon Basilika Santo Petrus seperti tradisi sebelumnya. Sebaliknya, ia menyampaikan pidatonya dari dalam lingkungan tertutup Vatikan. Meski demikian, tetap dibutuhkan metode untuk mengumumkan kepada dunia bahwa Paus baru telah dipilih.

Sejarawan Ambrogio Piazzoni menjelaskan bahwa pihak gereja kala itu merasa menjadi “tahanan” Italia dan tidak ingin mengakui kekerasan yang mereka alami. Maka diciptakanlah sistem sinyal asap, sebagai media komunikasi melalui kobaran api yang dinyalakan.

Tradisi ini bertahan hingga saat ini. Pada 1903, Paus Pius X menetapkan bahwa surat suara yang telah dihitung harus dibakar demi menjaga kerahasiaan dan mencegah gangguan dari pihak luar.

Sistem warna asap berwarna hitam dan putih baru digunakan secara resmi pada 1914 dalam pemilihan Paus Benediktus XV. Asap hitam berarti belum ada hasil, sementara asap putih menandakan Paus telah terpilih.

Sebelumnya, untuk menghasilkan warna, para kardinal menggunakan jerami basah untuk asap hitam dan bahan kering untuk asap putih. Namun sistem ini tidak selalu berhasil. Kerap terjadi kebingungan di Lapangan Santo Petrus, di mana kerumunan berseru memperdebatkan warna asap tersebut. “Itu putih!” dan dibantah dengan, “Tidak, itu hitam!”

Masalah ini mulai diatasi pada 1978 dengan mengganti jerami dengan bahan kimia khusus. Namun, Paus Yohanes Paulus II masih belum puas dan pada 1996 memerintahkan agar lonceng Basilika Santo Petrus dibunyikan sebagai penanda tambahan jika Paus baru telah dipilih.

Inovasi lain muncul pada konklaf pada 2005 yang memilih Paus Benediktus XVI. Saat itu, Vatikan memasang tungku kedua yang menghasilkan asap berwarna dari bahan kimia racikan teknisi Vatikan. Asap dari dua tungku itu disalurkan melalui satu cerobong.

Kini, bagi umat Katolik dan pengunjung yang mengikuti konklaf, tidak cukup hanya melihat cerobong. Mereka juga harus mendengarkan dentang lonceng yang menandakan dunia telah memiliki Paus yang baru.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |