Liputan6.com, Jakarta - Kondisi air susu ibu (ASI) pada setiap wanita berbeda-beda. Ada yang melimpah, ada pula yang kurang. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan mengenai kebolehan menjual ASI dari ibu yang memiliki kelebihan kepada ibu yang kekurangan. Apakah transaksi semacam ini diperbolehkan dalam hukum Islam?
Dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB, dalam madzhab Syafi’i, hukum air susu manusia adalah suci dan boleh diperjualbelikan.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Nihayatul Muhtaj, yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi’i mengenai kesucian dan kebolehan menjual ASI.
Dalam kitab tersebut, disebutkan bahwa Imam Malik dan Imam Syafi’i memperbolehkan jual beli ASI, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak memperbolehkannya. Pendapat yang membolehkan didasarkan pada analogi dengan susu hewan yang boleh diminum dan dijual.
Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ASI diperbolehkan untuk diminum hanya karena adanya kebutuhan mendesak bayi. Menurutnya, secara asal, ASI tidak boleh diperjualbelikan karena bagian tubuh manusia, termasuk dagingnya, haram untuk dikonsumsi.
Simak Video Pilihan Ini:
Cara Jitu Melumpuhkan Sarang Tawon Vespa Raksasa!
Boleh Dijual dan Dibeli, Ini Sebabnya
Sementara itu, menurut artikel yang dikutip dari NU Online, mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i juga memperbolehkan jual beli ASI. Mereka berpendapat bahwa ASI adalah benda suci, bermanfaat, dan boleh dikonsumsi, sehingga dapat dipersamakan dengan susu kambing.
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, disebutkan bahwa karena ASI adalah benda suci dan dapat dimanfaatkan, maka sah untuk diperjualbelikan sebagaimana susu kambing. Bahkan, disebutkan pula bahwa jika ada susu yang keluar dari pria (jika memungkinkan), maka hukum penjualannya juga sama.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, yang menyatakan bahwa penjualan ASI diperbolehkan tanpa ada unsur kemakruhan. Hal ini menjadi pegangan utama dalam mazhab Syafi’i dan menjadi keputusan bagi para pengikutnya.
Di sisi lain, dalam mazhab Hanafi dan Maliki, jual beli ASI tidak diperbolehkan. Mereka berpendapat bahwa ASI bukanlah barang yang lazim untuk diperjualbelikan. Selain itu, ASI termasuk kelebihan dari tubuh manusia, seperti keringat, air mata, dan ingus, yang tidak boleh diperjualbelikan.
Pendapat ini didasarkan pada kaidah fiqih yang menyatakan bahwa sesuatu yang tidak boleh dijual secara keseluruhan, maka tidak boleh dijual sebagian. Oleh karena itu, sebagaimana rambut manusia tidak boleh dijual, maka ASI pun tidak boleh diperjualbelikan.
Dalam mazhab Hanbali, terdapat dua pendapat berbeda. Sebagian ulama Hanbali memperbolehkan jual beli ASI, sementara sebagian lainnya melarangnya dengan alasan yang serupa dengan madzhab Hanafi dan Maliki.
Dalil yang Melarang Seperti Ini
Dalil utama bagi mereka yang melarang adalah karena tubuh manusia secara utuh tidak boleh diperjualbelikan. Maka, menjual bagian dari tubuh manusia, termasuk ASI, juga tidak diperbolehkan.
Dengan adanya perbedaan pendapat ini, umat Islam yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i dapat mengambil pendapat yang memperbolehkan transaksi jual beli ASI. Namun, ada konsekuensi yang perlu diperhatikan.
Salah satu konsekuensi utama dari jual beli ASI adalah terbentuknya hubungan mahram (haram dinikahi) antara anak penerima ASI dengan ibu penyusunya. Hal ini juga berlaku pada cabang nasab turunannya.
Berdasarkan hukum persusuan, anak yang menerima ASI dari seorang wanita akan memiliki hubungan mahram dengan ibu susu dan keluarganya, sebagaimana hubungan nasab dalam Islam.
Oleh karena itu, jika seseorang ingin melakukan transaksi jual beli ASI, maka harus memperhitungkan dampak hukum yang muncul dari hubungan mahram yang terbentuk.
Meskipun jual beli ASI diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i, para ulama tetap menganjurkan agar hal ini dilakukan dengan pertimbangan matang. Sebab, hubungan mahram yang terjadi akibat persusuan dapat berdampak pada pernikahan di masa depan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul