TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria memastikan kantor Koperasi Desa Merah Putih akan menggunakan lahan milik pemerintah untuk beroperasional.
“Tidak perlu beli, tidak perlu menyewa. Menggunakan lahan milik negara, milik pemerintah atau BUMN,” kata Ahmad saat ditemui usai rapat di Graha Mandiri, Jakarta Pusat, pada Selasa, 22 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk membentuk satu Koperasi Desa Merah Putih berkisar antara Rp 2 hingga Rp 3 miliar. Ahmad mengatakan pendanaan modal pembentukan dan usaha koperasi itu akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain APBN, Ahmad mengatakan pemerintah juga akan melakukan pinjaman kepada Himpunan Bank Negara (Himbara) untuk menambah modal pembentukan koperasi tersebut. Rencananya pemerintah akan mencicil pinjaman dari Himbara dalam jangka waktu belasan tahun. “Nanti akan dicicil oleh dana desa, bisa 10 tahun, 15 tahun atau lebih,” kata Ahmad.
Di lain pihak, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan pemerintah masih memastikan mekanisme pinjaman melalui Himbara. Yang jelas, pinjaman ke Himbara itu akan dibayar oleh pemerintah melalui APBN dari pos dana desa yang juga bersumber dari keuntungan Koperasi Desa Merah Putih.
Senada dengan Ahmad Riza Patria, Sudaryono mengatakan pemerintah akan mencicil dana pinjaman Himbara itu dalam jangka waktu belasan tahun agar besarannya tidak membebani APBN.
Sudaryono yakin Kopdes Merah Putih akan memberikan keuntungan secara bisnis kepada masyarakat desa melalui enam unit usaha yang ada.
“Kalau membangun itu kan butuh dana besar di depan, tapi kan jaminannya itu dari APBN sehingga secara prudent semuanya prudent, APBN-nya prudent, kemudian bank-banknya prudent, dan koperasi desanya juga prudent,” ujar Sudaryono.
Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi sebelumnya menilai APBN 2025 tidak memiliki ruang fiskal yang cukup longgar untuk membiayai program koperasi secara penuh. Dengan estimasi Rp 5 miliar per unit koperasi untuk 80 ribu desa, total kebutuhan anggaran Rp 400 triliun akan setara dengan hampir 15 persen dari total belanja dalam APBN 2025.
“Tanpa perencanaan fiskal yang hati-hati dan strategi exit yang jelas, skala program ini bisa menciptakan tekanan fiskal serius dan mengganggu keberlanjutan keuangan negara,” tutur Syarifuddin kepada Tempo, Rabu, 16 April 2025.
Terutama jika dijalankan secara bersamaan dengan agenda prioritas lain, seperti subsidi energi, belanja pertahanan, dan proyek infrastruktur strategis. Syarifuddin menjelaskan, APBN memiliki keterbatasan ruang fiskal sehingga penambahan beban sebesar itu dapat memperlebar defisit anggaran. Ia memperkirakan kondisi ini bisa mengganggu komitmen pemerintah dalam menjaga defisit fiskal di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto di tengah beban subsidi energi, belanja pertahanan, serta kelanjutan proyek infrastruktur prioritas.