Masyarakat Masih Anggap Ringan Penyakit DBD, Padahal Bisa Sebabkan Kematian

8 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan Fadjar SM Silalahi mengatakan demam berdarah dengue (DBD) semakin dianggap sebuah penyakit yang biasa. Padahal, penyakit ini salah satu penyakit yang bisa menyebabkan kematian di Indonesia. “Dengue adalah penyakit yang bisa mengancam nyawa, dan kita tidak bisa lagi menunggu sampai puncak kasus (wabah) untuk bertindak," kata Fajar pada 23 April 2025. 

Fajar mengatakan saat ini masih banyak orang menganggap remeh bahwa DBD adalah penyakit musiman. "Padahal, faktanya tidak begitu. Penyakit dengue ada dan dapat menyebar sepanjang tahun, walaupun memang pada bulan-bulan tertentu kasusnya bisa melonjak secara signifikan. Salah satu tantangan besar kami adalah melawan persepsi tersebut," kata Fadjar melanjutkan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena masih banyaknya persepsi masyarakat itu, ia dan tim pun akan memperkuat kewaspadaan melalui edukasi dan pencegahan lintas sektor. "Mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif,” kata Fadjar. Hal tersebut telah dituangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan Dengue 2021-2025 yang komprehensif. 

“STRANAS Penanggulangan Dengue 2021-2025 menjadi komitmen kami dalam mewujudkan peta jalan Neglected Tropical Diseases (NTD) 2020-2030 yang dicanangkan oleh WHO. Di mana, dengue menjadi salah satu penyakit tropis yang perlu dieliminasi pada tahun 2030. Strategi nasional ini menjadi dasar kolaborasi dan pembuatan strategi dalam pencegahan dengue,” kata Fadjar.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Dirga Sakti Rambe, menjelaskan bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya. Menurut dia, masyarakat sering kali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius. Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit. "Kondisi ini bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta. Yang banyak masyarakat tidak mengerti adalah bahwa seseorang bisa terinfeksi dengue lebih dari satu kali, karena virus dengue memiliki empat serotipe berbeda, dan infeksi berikutnya justru bisa membawa risiko yang lebih tinggi terhadap keparahan, terutama orang- orang dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan ginjal kronik,” kata Dirga.

Dirga menambahkan sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk mengatasi dengue. Satu-satunya cara terbaik yang kita miliki adalah mencegah. Dan pencegahan ini harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan, dan yang tidak kalah penting adalah menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi, yang kini telah direkomendasikan penggunaannya oleh asosiasi medis bagi anak-anak dan orang dewasa, tanpa memandang riwayat infeksi dengue sebelumnya. Artinya, orang yang belum pernah terkena dengu epun bisa mendapatkan vaksinasi. "Namun, untuk mencapai perlindungan yang optimal, seseorang perlu mendapatkan dosis vaksin dengue sesuai yang direkomendasikan dokter,” kata Dirga.

Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 38.740 kasus dengue di Indonesia hingga 13 April 2025, Dari jumlah itu, sudah terdapat kematian sebanyak 182 kasus. Case Fatality Rate alias jumlah orang yang meninggal dunia dari total orang yang sakit pun sudah mencapai 0,47 persen. Mereka tersebar di 447 kabupaten/kota di 34 provinsi. Meskipun angka ini lebih rendah dibandingkan dengan lonjakan kasus pada periode yang sama tahun lalu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/466/2025 tentang “Kewaspadaan Dini terhadap Penyakit DBD dan Chikungunya” kepada seluruh Dinas Kesehatan sebagai bentuk kewaspadaan dini terhadap potensi peningkatan kasus di awal tahun 2025. 3 Penurunan tren ini tidak serta merta menjadi alasan untuk melonggarkan kewaspadaan. Sebagai negara hiper-endemik, Indonesia terus menghadapi risiko penularan dengue sepanjang tahun, yang dapat meningkat kapan saja jika langkah pencegahan tidak dilakukan secara konsisten.

Melalui kegiatan media briefing bertajuk “Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan,” PT Takeda Innovative Medicines bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan kembali mendorong pentingnya edukasi dan pencegahan terhadap denguedr. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan penyakit DBD sudah ada lebih dari setngah abad lalu. Lebih dari setengah abad berlalu, DBD tetap menjadi masalah kesehatan yang serius. "Data Kementerian Kesehatan tahun 2024 menunjukkan bahwa jumlah kasus dan kematian meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2023. Per April 2025, sudah tercatat lebih dari 38.000 kasus dan lebih dari 100 kematian akibat DBD," kakta Dante. 

Dante menambahkan bahwa kasus DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan mobilitas masyarakat. Artinya, siapa pun bisa berisiko terkena penyakit ini. "Oleh karena itu, pencegahan yang menyeluruh perlu menjadi perhatian bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk menanggulangi DBD secara efektif,” kata Dante. “Saya berharap kampanye ini menjadi titik awal lahirnya gelombang kepedulian dan aksi nyata dari seluruh lapisan masyarakat, demi mendukung cita-cita besar kita bersama: ‘Nol Kematian Akibat DBD pada Tahun 2030’, sebagaimana tercantum dalam Strategi Nasional Pencegahan Dengue 2021–2025,” kata Dante.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam acara “Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan,” by PT Takeda Innovative Medicines/Takeda

Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht mengungkapkan timnya melihat bahwa edukasi publik memiliki peran kunci dalam mengubah cara kita memahami dan menghadapi dengue. Hal ini salah satunya terlihat hasil studi lintas negara yang kami lakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang dengue, termasuk vektor, pencegahan, dan vaksinasi, masih rendah—rata-rata hanya 47 persen. 

Menariknya, Indonesia mencatat skor tertinggi dalam praktik pengendalian vektor secara mandiri, dengan 56 persen responden aktif melakukan upaya pencegahan. "Namun, studi berkala yang dilakukan oleh salah satu perusahaan riset pasar internasional, ternyata menemukan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak konsisten dan hanya mengintensifkan tindakan pencegahan pada musim hujan atau saat terjadi lonjakan kasus," katanya. 

Menurut Andreas, hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi yang lebih konsisten dan berkesinambungan. “Itulah yang mendorong kami untuk memperkuat kampanye Cegah DBD tahun ini. Di mana, hari ini, kami meluncurkan video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp yang dirancang agar informasi penting bisa menjangkau lebih banyak keluarga di Indonesia—dengan bahasa yang mudah dipahami dan terpercaya,” katanya.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |