TEMPO.CO, Jakarta - Dua mumi berusia 7.000 tahun yang ditemukan di wilayah yang kini dikenal sebagai Libya mengungkap adanya garis keturunan manusia yang belum pernah diketahui sebelumnya. Temuan tersebut diungkap dalam studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 2 April 2025.
Para peneliti menganalisis DNA kuno dari dua jenazah perempuan yang hidup pada masa Sahara masih berupa savana subur dan lembap, sekitar 14.500 hingga 5.000 tahun lalu. Periode ini dikenal sebagai ‘Sahara Hijau’ atau African Humid Period, ketika wilayah yang kini gersang menjadi tempat tinggal manusia yang berburu dan memelihara hewan di sekitar sungai dan danau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil analisis DNA menunjukkan bahwa kedua mumi berasal dari garis keturunan yang berbeda dan terisolasi dari populasi Afrika sub-Sahara pada masa yang sama. Garis keturunan ini diperkirakan menyimpang dari populasi Afrika sub-Sahara sekitar 50.000 tahun lalu, dan memiliki jejak nenek moyang dari wilayah Levant, serta sisa-sisa DNA Neanderthal dalam jumlah kecil.
“Kami sangat beruntung memiliki sampel yang terawetkan sebaik ini,” ujar Nada Salem, paleogenetika dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, kepada majalah Science, dikutip dari laporan Live Science, Selasa, 15 April 2025. Ia menambahkan bahwa suhu tinggi di Sahara biasanya membuat DNA sulit bertahan lama.
Mumi tersebut merupakan bagian dari 15 jenazah yang ditemukan antara 2003 hingga 2006 di tempat perlindungan batu Takarkori di barat daya Libya. Dua dari jenazah mengalami proses mumifikasi alami yang membantu pelestarian DNA mereka.
Sebelumnya, studi tahun 2019 telah meneliti DNA mitokondria dari jenazah ini, namun informasi yang diperoleh terbatas karena DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu. Studi terbaru ini menggunakan DNA dari seluruh genom dan membandingkannya dengan DNA dari 800 individu masa kini serta 117 genom kuno dari Afrika, Timur Dekat, dan Eropa Selatan.
Temuan ini menunjukkan bahwa wilayah Sahara Hijau kemungkinan tidak berfungsi sebagai jalur migrasi antara Afrika Utara dan Afrika sub-Sahara. Meski demikian, para peneliti menduga pertukaran budaya tetap terjadi.
“Kita sekarang tahu bahwa mereka terisolasi secara genetik, tapi tidak dalam hal budaya,” kata Savino di Lernia, arkeolog dari Universitas Sapienza di Roma kepada CNN. “Kami melihat banyak jaringan dari berbagai bagian benua, karena kami menemukan tembikar dari Afrika sub-Sahara. Kami juga menemukan tembikar dari Lembah Nil, dan lainnya.”
Para peneliti juga menduga bahwa munculnya praktik penggembalaan di wilayah tersebut terjadi karena interaksi dengan kelompok lain yang sudah memelihara hewan domestik, bukan akibat migrasi besar-besaran.
Meskipun garis keturunan ini tidak lagi ada dalam bentuk aslinya, peneliti menemukan bahwa sebagian orang di Afrika Utara masa kini masih mewarisi sebagian kecil warisan genetik dari kelompok tersebut.
“Dengan mengungkap masa lalu Sahara yang dalam, kami berharap dapat memperluas pemahaman tentang migrasi manusia, adaptasi, dan evolusi budaya di wilayah penting ini,” ujar Savino di Lernia.