Pakar Hukum UGM Minta Polisi Tindak Tegas Pelaku Pemukulan Jurnalis Tempo di Demo Hari Buruh

10 hours ago 4

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang juga deklarator Lembaga Bantuan Hukum Pers, Herlambang Perdana Wiratraman, mendesak kepolisian Semarang bertanggung jawab terhadap pemukulan jurnalis Tempo, Jamal Abdun Nashr saat meliput demonstrasi peringatan Hari Buruh di kampus Universitas Diponegoro di Kelurahan Pleburan, Kota Semarang, 1 Mei 2025.

Pilihan Editor:Viral Dokter RS Unhas Tolak Pasien, Ini Penjelasan Rumah Sakit

Menurut Herlambang, pemukulan terhadap Jamal menggambarkan brutalitas polisi yang berulang terhadap jurnalis yang meliput berbagai kasus pelanggaran hak dan keadilan sosial. Dia melihat kepolisian tak pernah serius mengevaluasi atau membenahi sistem kerjanya. Padahal, kerja jurnalistik mendapatkan perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selain itu, Dewan Pers dan Polri telah menandatangani perjanjian kerja sama tentang perlindungan pers. Masalahnya, polisi tetap melakukan kekerasan. “Brutalitas dan impunitas membudaya di tubuh kepolisian,” kata Herlambang dihubungi Tempo, Jumat, 2 Mei 2025.

Tindakan aparat kepolisian, kata Herlambang, justru mencoreng citra polisi karena melanggengkan tradisi kekerasan di ruang publik. Kekerasan terhadap jurnalis termasuk pelanggaran hukum dan bertentangan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Herlambang mendesak kepolisian untuk menindak tegas pelaku kekerasan tanpa menunggu laporan. Sesuai Pasal 18 ayat 1 UU Pers, tindakan menghambat atau menghalangi pers menjalankan kerja jurnalistik bukan termasuk delik aduan sehingga kepolisian harus melakukan upaya penyelidikan. “Komandan lapangan harus mundur karena gagal melindungi jurnalis,” ujar Herlambang.

Setelah menjalani visum di rumah sakit di Semarang pada Kamis malam, 1 Mei 2025, Jamal mengatakan terjadi dua peristiwa kekerasan yang menimpanya. Kekerasan pertama terjadi saat Jamal merekam polisi yang menangkap demonstran di depan gerbang Kantor Gubernur Jawa Tengah pada sore hari. Saat merekam, polisi tiba-tiba mendatanginya, lalu memiting dan membanting tubuh Jamal. “Polisi merampas ponsel saya dan menghapus video itu,” kata Jamal.

Jamal berteriak bahwa dia jurnalis dan memperlihatkan kartu pers yang dia gantungkan di leher. Tapi, polisi tak peduli dan tetap memintanya masuk ke kantor gubernur. Sejumlah polisi kemudian mengerubunginya.

Kekerasan kedua terjadi pada malam hari setelah polisi membawa Jamal ke Kantor Dinas Sosial di seberang kantor gubernur. Polisi memukul kepala sebelah kiri Jamal. Video Jamal mengalami kekerasan beredar luas di percakapan grup WhatsApp. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen  atau AJI Kota Semarang Aris Mulyawan menyebutkan polisi memiting, menyeret, dan menampar Jamal. Menurut dia, Jamal telah menunjukkan kartu identitas pers dan menjelaskan bahwa ia sedang menjalankan tugas jurnalistik. “Polisi tetap memukuli Jamal berkali-kali. Kekerasan berlangsung dua kali yakni sore dan malam hari,” kata Aris saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 1 Mei 2025.

Selain Jamal, seorang pimpinan redaksi pers mahasiswa, DS juga diduga dipukuli orang berpakaian sipil, yang mengakibatkan luka robek di wajah hingga harus mendapatkan jahitan. DS dipukul saat merekam kekerasan polisi terhadap demonstran menggunakan ponsel.

AJI Semarang mengecam kekerasan terhadap jurnalis Tempo dan jurnalis pers mahasiswa. Dia menegaskan kekerasan itu merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan mencoreng wajah demokrasi. Kerja jurnalistik mendapatkan perlindungan Undang-Undang Pers.

Sesuai aturan itu, jurnalis berhak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi tanpa tekanan dan kekerasan. Tindakan aparat terhadap Jamal dan DS, menurut AJI, melanggar aturan itu dan mengarah pada tindak pidana menghalangi kerja pers. “Aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggar hukum. Kami mengecam tindakan represif ini dan mendesak agar pelakunya diusut tuntas,” kata dia.

Kekerasan terhadap jurnalis menurut Aris bukan insiden biasa dan mengancam publik mendapatkan hak atas informasi. Selain Jamal, terdapat lima anggota pers mahasiswa yang mendapatkan kekerasan aparat.

Pendamping hukum aksi May Day Kota Semarang, Dhika menyebutkan polisi menangkap 18 pengunjuk rasa dan menahan mereka. Lima orang menjalani perawatan medis di rumah sakit. Sebelum menangkap demonstran, polisi, menurut Dhika, menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa.

Tim hukum mendesak Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang untuk menarik anak buahnya yang berada di Undip. Selain itu, dia meminta polisi memberikan hak peserta aksi mendapatkan bantuan hukum.

Ratusan mahasiswa terjebak di dalam kampus Universitas Diponegoro di Peleburan, Kota Semarang saat menggelar demonstrasi peringatan hari buruh sedunia. Sebelumnya mereka mengikuti aksi unjuk rasa di Jalan Pahlawan Kota Semarang.

Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, M Safali mengatakan polisi dan ratusan orang berpakaian sipil mengepung demonstran di Undip yang di dalamnya terdapat 400-an mahasiswa yang sedang berlindung. Menurutnya, ratusan mahasiswa itu menjauh dari depan Kantor Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah karena polisi mengejar mereka.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Ribut Hari Wibowo tak membantah anggotanya mengepung kampus Undip. "Mereka menyandera anggota saya," kata dia melalui pesan singkat.

Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Semarang, Komisaris Besar Polisi Syahduddi belum merespons pesan maupun panggilan telepon dari Tempo ihwal kekerasan yang dilakukan anak buahnya terhadap Jamal dan jurnalis pers kampus.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |