Pemerintah Pertahankan Hukuman Mati di KUHP Karena Menghormati Hukum yang Hidup di Masyarakat

7 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra membeberkan alasan di balik keputusannya untuk mempertahankan klausul pidana hukuman mati. Menurut Yusril, ketentuan itu didasarkan pada hukum yang hidup di masyarakat atau living law.

"Pemerintah dan DPR menghormati hukum yang hidup dalam masyarakat," ujar Yusril ketika dihubungi oleh Tempo lewat aplikasi perpesanan pada Jumat malam, 11 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusril menjelaskan, living law yang dimaksud olehnya adalah Hukum Islam serta Hukum Adat. Baik Hukum Islam maupun Hukum Adat, keduanya merupakan bagian dari sumber hukum nasional di Indonesia. "Dan keduanya mengenal hukuman mati," kata Yusril. 

Mantan Menteri Sekretaris Negara tersebut mencontohkan dengan pemberlakuan hukum di Filipina. Meskipun negara tersebut pada dasarnya sekuler, namun mereka masih mengadopsi Hukum Kanonik dari Gereja Katholik. 

Bagi Filipina, Hukum Kanonik telah dianggap sebagai living law. "Pemerintah Filipina sampai hari ini menolak KB dan perceraian karena Hukum Kanonik Gereja Katolik menentang KB dan perceraian," tutur Yusril dalam penjelasannya. 

Sebelumnya Yusril sendiri telah menegaskan tidak akan menghapus klausul pidana hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan tersebut masih akan diterapkan sebagai sanksi pidana bersifat khusus. 

"Secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf C serta pasal 67 dan 68 KUHP," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Tempo pada Kamis, 10 April 2025.

Yusril juga menjelaskan, pemberian vonis hukuman mati oleh hakim harus diterapkan sebagai pidana alternatif. Selain itu, hukuman mati juga tidak bisa serta-merta diterapkan meski telah diputuskan oleh pengadilan. 

Terpidana hukuman mati masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi kepada presiden. Pasal 99 dan 100 KUHP memberikan ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

"Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup," ujar Yusril. 

Dia juga meminta hakim untuk berhati-hati ketika memutuskan untuk menjatuhkan pidana mati. Yusril menilai, lebih baik seorang hakim membebaskan seorang penjahat, dibandingkan menghukum orang yang tidak bersalah. 

"Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip mutlak," ucap Yusril. 

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |