Info Event - Di tangan Heri Dono, laut bukan sekadar hamparan air, melainkan ruang ide yang tak terbatas. Instalasinya, Trokomod, lahir dari pemikiran tentang identitas maritim Indonesia, pluralisme, dan percampuran tradisi dengan modernitas.
Nama Trokomod sendiri lahir dari paduan kata Trojan—kuda perang legendaris dalam mitologi Yunani—dan Komodo, kadal purba endemik Indonesia. “Seperti kuda Troya, karya ini membawa pesan tersembunyi,” tutur Heri. Sementara Komodo menghadirkan kekuatan alam Nusantara, perpaduan keduanya menandakan strategi dan daya tahan, simbol perjalanan budaya yang menembus zaman.
Secara konseptual, Trokomod menyoroti keterbukaan budaya kepulauan Indonesia yang sejak dahulu menjadi titik temu berbagai bangsa. Heri menggambarkannya sebagai bentuk “cultural negotiation,” sebuah ajakan untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan. Periskop dan teleskop yang menjadi bagian dari instalasi menandakan cara pandang baru: melihat jauh melampaui batas, menghubungkan pulau ke pulau, manusia ke manusia.
Dalam karyanya, Heri menyelipkan refleksi sejarah, termasuk jejak Konferensi Asia-Afrika Bandung dan jejak kolonialisme yang dulu memaksakan garis batas. Bagi Heri, laut adalah metafora kebebasan sekaligus pengingat bahwa batas negara hanya buatan. Melalui Trokomod, ia menegaskan bahwa Indonesia dibentuk oleh pertemuan, bukan pemisahan.
Untuk pertama kalinya di Bali, publik bisa menyaksikan karya monumental yang pernah dihadirkan di Venice Biennale 2015 ini di Nuanu Creative City, Tabanan. Karya setinggi 7,5 meter itu hadir sejak tanggal 12 September dalam ajang Art & Bali 2025.
Pilihan Nuanu sebagai lokasi pameran bukan kebetulan. Kawasan seni di Bali itu dikenal sebagai tempat pertemuan ide, tempat seniman dan audiens dari berbagai latar dapat saling belajar. “Nuanu menyediakan ruang pertukaran budaya yang sejalan dengan gagasan Trokomod,” ungkap Heri dalam wawancaranya dengan Tempo.
Iklan
Nuanu juga mendukung kegiatan seperti lokakarya dan residensi, elemen penting bagi Heri yang gemar mendorong interaksi antara seniman dan publik. Di sana, Trokomod bukan sekadar instalasi untuk dilihat, melainkan pengalaman yang mengundang dialog, eksperimen, dan kolaborasi lintas disiplin.
Skala karya ini mencerminkan visi besar Heri. Trokomod menempati paviliun seluas sekitar 300 meter persegi, dengan struktur utama sepanjang tujuh setengah meter dan lebar tiga meter. Dimensi tersebut menghadirkan kesan kapal raksasa yang siap berlayar membawa penonton pada perjalanan imajinasi.
Heri percaya pameran di Nuanu akan menjangkau audiens yang beragam: wisatawan, seniman internasional, hingga masyarakat lokal. Keberagaman pengunjung ini penting untuk pesan Trokomod tentang keterbukaan dan negosiasi budaya. “Saya ingin karya ini menjadi percakapan yang luas, bukan hanya tontonan,” ujarnya.
Secara filosofis, Trokomod adalah ajakan untuk kembali ke laut sebagai cara berpikir. Laut melambangkan kebebasan bergerak, keberanian menyeberangi batas, dan kesediaan menerima perbedaan. Heri memadukan warisan maritim nusantara dengan pendekatan seni kontemporer agar publik merasakan bahwa pluralisme adalah identitas sejati Indonesia.
Pameran ini sekaligus menegaskan posisi Heri Dono sebagai seniman yang menjembatani tradisi dan masa kini. Di Nuanu, Trokomod berlabuh bukan untuk menetap, melainkan untuk terus bergerak, memancing dialog, dan mengajak siapa pun menafsirkan ulang makna kebangsaan dalam dunia tanpa batas. (*)