Bolehkah Qurban untuk Orangtua yang Telah Meninggal? Ini Jawaban Ustadz Adi Hidayat

7 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Sebentar lagi umat Islam bakal merayakan Idul Adha 2025. Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan adalah ibadah qurban.

Ibadah kurban selalu menghadirkan beragam pertanyaan di kalangan umat Islam, terutama ketika berkaitan dengan orangtua yang telah meninggal dunia.

Banyak yang masih bingung apakah kurban dapat dilakukan atas nama orang tua yang sudah meninggal. Pertanyaan ini sering muncul menjelang Hari Raya Idul Adha.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pendakwah Muhammadiyah Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan dalam sebuah kajian. UAH menegaskan bahwa kurban untuk orang tua yang telah wafat tetap diperbolehkan. Hal ini menjadi kabar baik bagi mereka yang ingin mengungkapkan bakti meskipun orang tua sudah tiada.

Dikutip Minggu (18/05/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @ompadi, UAH menegaskan bahwa infak atau amal jariyah tidak terputus meskipun orang tua telah meninggal dunia. Kurban tetap bisa dilakukan dengan meniatkan atas nama mereka.

"Orang tua sudah meninggal tidak putus infak. Ini sebentar lagi mau kurban. Boleh berkurban ya. Diatasnamakan yang telah wafat. Boleh, boleh," ujar UAH.

Pernyataan ini menjawab kebimbangan sebagian umat yang ragu apakah kurban untuk orang tua yang telah tiada sesuai syariat.

Lebih lanjut, UAH menjelaskan bahwa jika memiliki kemampuan, setiap anggota keluarga boleh berkurban secara mandiri. Artinya, jika dalam satu rumah terdapat lima orang, masing-masing boleh berkurban dengan satu hewan. "Misalnya suami, istri, dan tiga anak masing-masing berkurban satu sapi atau kambing, itu diperbolehkan," jelas UAH.

Simak Video Pilihan Ini:

Dukun Pengganda Uang Mbah Slamet Bunuh 11 Korban di Banjarnegara

Solusi yang Bisa Dilaksanakan saat Kurban

Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berkurban secara individual. Oleh karena itu, UAH memberikan solusi alternatif. Jika hanya ada satu hewan kurban, maka cukup diatasnamakan untuk semua anggota keluarga.

Dengan begitu, nilai kebersamaan tetap terjaga tanpa memberatkan.

Sebagai contoh, UAH mengutip hadis Nabi Muhammad SAW saat berkurban. Nabi bersabda, "Allahumma haram min Muhammad wa ali Muhammad wa ummat Muhammad." Artinya, "Ya Allah, terimalah kurban ini dari Muhammad, dari keluarga besar Muhammad, dan dari umat Muhammad yang tidak mampu berkurban selama hidupnya."

Menurut UAH, hadits ini menunjukkan bahwa satu hewan kurban bisa mencakup seluruh keluarga. Prinsip ini dapat diterapkan terutama ketika ada keterbatasan finansial. Maka, tidak perlu merasa terbebani jika hanya bisa berkurban dengan satu hewan.

UAH juga menekankan pentingnya niat yang ikhlas dalam berkurban. Bukan soal jumlah hewan yang dikurbankan, tetapi bagaimana ketulusan hati dalam beribadah. Kurban adalah simbol pengorbanan yang sebaiknya dilakukan dengan penuh kesadaran dan cinta kasih.

Jika Mampu Kurban Secara Mandiri

Bagi mereka yang mampu, memang lebih baik jika setiap anggota keluarga berkurban secara mandiri. Namun, jika tidak memungkinkan, berkurban bersama pun tidak mengurangi keutamaan. Justru, dalam kebersamaan tersebut terdapat keberkahan yang besar.

Umat Islam juga perlu memahami bahwa berkurban bukanlah perkara memaksakan diri. Jika memang tidak mampu, cukup satu hewan untuk keluarga besar. Hal ini tetap mendapat pahala dan mencerminkan kepedulian terhadap sesama.

UAH mengajak umat untuk tetap menjaga semangat berkurban meskipun dalam keterbatasan. Yang terpenting adalah niat baik dan kesungguhan dalam melaksanakan ibadah ini. Kurban adalah wujud syukur atas nikmat Allah dan bentuk kepedulian kepada yang membutuhkan.

Tidak hanya itu, UAH juga mengingatkan agar jangan sampai merasa rendah diri jika tidak mampu berkurban lebih banyak. Prinsip dalam berkurban adalah memberikan yang terbaik sesuai kemampuan. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya," tambah UAH.

Kurban juga bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan hubungan dengan sesama. Dengan berbagi daging kurban, umat Islam dapat merajut kebersamaan dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain.

Berkurban dengan Hati Tulus

Dalam konteks ini, UAH mengajak umat untuk tidak memaksakan diri dalam berkurban. Apabila ada kemampuan lebih, silakan berkurban masing-masing. Namun, jika tidak, cukup satu hewan untuk seluruh keluarga sudah memadai.

UAH juga menekankan pentingnya memahami esensi kurban sebagai bentuk ibadah yang penuh keikhlasan. Jangan sampai kurban dilakukan hanya untuk pamer atau mengikuti tren, tetapi benar-benar karena ketulusan hati.

Selain itu, UAH juga mengingatkan agar umat Islam tidak melupakan niat untuk mengatasnamakan orang tua yang telah wafat jika memang diniatkan. Meskipun mereka sudah tiada, amal kebaikan berupa kurban tetap akan sampai sebagai pahala.

Dalam kesempatan tersebut, UAH juga mengajak umat Islam untuk meningkatkan kualitas ibadah di bulan Dzulhijjah ini. Selain berkurban, memperbanyak amal saleh juga dianjurkan agar keberkahan terus mengalir.

Sebagai penutup, UAH menegaskan bahwa yang paling utama adalah keikhlasan dalam berkurban. "Berkurbanlah dengan hati yang tulus, bukan karena tuntutan atau beban sosial," pesan UAH.

Dengan memahami hukum kurban ini, diharapkan umat Islam dapat melaksanakan ibadah dengan lebih bijak dan tidak merasa terbebani. Semoga kurban tahun ini menjadi sarana untuk mempererat hubungan dengan Allah dan sesama.

Ibadah kurban bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga sarana untuk memperkuat kepedulian sosial. Dengan berbagi daging kurban, umat Islam menunjukkan rasa syukur dan cinta kasih terhadap sesama. Semoga kita semua bisa melaksanakannya dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |