Ekoteologi Islam Perspektif Al-Qur'an dan Hadis, Solusi Krisis Lingkungan di Zaman Modern

4 weeks ago 24

Liputan6.com, Jakarta - Ekoteologi Islam merupakan pendekatan teologis yang menempatkan hubungan manusia–alam–Tuhan dalam satu kesatuan yang saling terhubung. Prinsip dasarnya berakar pada tauhid, yang menegaskan bahwa seluruh alam adalah ciptaan Allah dan memiliki nilai intrinsik sebagai ayat kauniyah.

Merujuk jurnal Ekoteologi Islam: Menjelajahi Hubungan Spiritual Antara Manusia, Alam, dan Tuhan dalam Tradisi Islam oleh Alfadhli dkk, dari prinsip ini lahir kesadaran bahwa manusia tidak berdiri sebagai penguasa absolut, tetapi sebagai khalifah yang memikul amanah untuk menjaga keseimbangan ekologis (mizan), menghindari kerusakan (fasad fil-ardh), dan tidak melakukan pemborosan (israf).

Prinsip ekoteologi Islam melihat perilaku ekologis bukan sekadar tindakan etis, melainkan bagian dari ibadah dan ketaatan spiritual kepada Allah. Alfadhli dkk menegaskan, Islam memandang kerusakan lingkungan sebagai bentuk pelanggaran terhadap harmoni ciptaan-Nya, serta sebagai kegagalan manusia dalam menjalankan amanah yang diberikan.

Dalam perspektif ini, maka ekoteologi Islam bisa menjadi solusi ketika dunia menghadapai krisis ekologi.

1. QS. Al-Baqarah: 30 — Manusia sebagai Khalifah

Merujuk Jurnal Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur'an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya, oleh Hesty Widiastuty dan Khairil Anwar dan sumber lain yang relevan, cukup banyak nash Al-Qur'an dan hadis yang menjadi dasar spiritual ekoteologi Islam, yang di tataran lain menjadi kewajiban umat Islam untuk menjaga lingkungan.

Berikut ini adalah ayat Al-Qur'an dan Hadis yang menjadi dasar ekoteologi Islam:

Berikut dalil-dalil ekoteologi Islam yang paling sering dijadikan rujukan, lengkap dengan teks Arab, terjemahan, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer. Disusun sistematis agar mudah dipahami.

النَّصُّ العَرَبِيّ﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi."

Ibn Kathir menjelaskan bahwa khalifah berarti “manusia mengelola bumi dengan keadilan, bukan kerusakan”. Al-Maraghi menegaskan manusia diberi potensi ilmu dan akal agar mampu “memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasinya”.

Ulama kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr melihat ayat ini sebagai fondasi tanggung jawab ekologis; manusia harus menjaga keseimbangan kosmik sebagai amanah Ilahi.

2. QS. Ar-Rahman: 7–9 — Prinsip Keseimbangan (Mizan)

النَّصُّ العَرَبِيّ﴿وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ ۝ أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ ۝ وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ﴾

Artinya: "Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan keseimbangan. Agar kamu tidak merusak keseimbangan itu. Maka tegakkanlah keseimbangan dengan adil dan jangan kamu mengurangi keseimbangan."

Al-Qurthubi menafsirkan “mizan” sebagai sistem keseimbangan alam; siapa yang merusaknya berarti menentang ketetapan Allah. Fakhruddin ar-Razi menyebut ayat ini sebagai “larangan terhadap semua bentuk kerusakan ekologis”. Pemikir kontemporer melihatnya sebagai dasar sustainability dan konservasi ekosistem.

3. QS. Al-A’raf: 31 — Larangan Israf (Pemborosan)

النَّصُّ العَرَبِيّ﴿وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan."

Al-Qurthubi menjelaskan, israf mencakup pemborosan air, makanan, energi, serta eksploitasi alam. Sementara, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa israf adalah akar kerakusan manusia yang merusak alam.

Dalam kajian ekoteologi, ini menjadi dasar gaya hidup eco-friendly dan anti-konsumtivisme.

4. QS. Ar-Rum: 41 — Larangan Merusak Bumi (Fasad fil-Ardh)

النَّصُّ العَرَبِيّ﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

Artinya"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia…"

Ibn ‘Ashur menyatakan “fasad” mencakup kerusakan ekologis: polusi, pembunuhan hewan berlebih, pembabatan hutan, dan eksploitasi yang mengganggu keseimbangan.

Ulama modern memahami ayat ini sebagai peringatan ekologis paling kuat dalam Al-Qur’an, menegaskan bahwa manusia penyebab utama krisis lingkungan.

5. QS. Al-Ahzab: 72 — Amanah Ekologis

النَّصُّ العَرَبِيّ﴿إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ… وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ

Artinya"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung… namun manusia yang memikul amanah itu."

Al-Tabari menjelaskan amanah mencakup kewajiban menjaga ciptaan Allah. Para pemikir ekologi Islam menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan adalah bagian dari amanah besar manusia yang akan dimintai pertanggungjawaban.

6. Hadis: Konservasi Air

النَّصُّ العَرَبِيّقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "لَا تُسْرِفْ فِي الْمَاءِ وَلَوْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ

Artinya: "Janganlah engkau boros menggunakan air, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir." (HR. Ibn Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa keberlimpahan bukan alasan untuk mengeksploitasi. Para fuqaha menjadikannya dasar hukum efisiensi sumber daya alam.

7. Hadis: Menanam Pohon sebagai Amal Jariyah

النَّصُّ العَرَبِيّقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Artinya: "Tidaklah seorang Muslim menanam pohon lalu dimakan manusia, binatang, atau burung, kecuali menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari)

Menurut Ibn Hajar, hadis ini menunjukkan nilai spiritual dari pelestarian alam. Ulama kontemporer menyebutnya sebagai dasar reboisasi dan green movement dalam Islam.

8. Hadis: Ihya’ al-Mawat (Menghidupkan Lahan Mati)

النَّصُّ العَرَبِيّقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Artinya: "Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Abu Dawud).

Imam Syafi'i memaknai hadis ini sebagai anjuran restorasi lahan dan penghijauan. Menjadi dasar konsep konservasi, agroforestri, dan pemulihan lahan kritis.

9. Hadis: Larangan Mencemari Lingkungan

النَّصُّ العَرَبِيّالنَّبِي ﷺ قَالَ: اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ: الْبَوْلَ فِي الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

Artinya: "Hindarilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat: buang kotoran di jalan dan tempat berteduh."(HR. Muslim)

Hadis ini dipahami sebagai larangan terhadap segala bentuk polusi dan perilaku merusak ruang publik.Dalam konsep modern, ia menjadi dasar hukum kebersihan, sanitasi, dan pengelolaan limbah.

3 Fondasi Ekoteologi Islam

Merujuk Skripsi Konsep Ekoteologi dalam Islam Perspektif Said Nursi dan Relevansinya dengan Dinamika Izin Tambang oleh Ormas Keagamaan, Aryo Bimo Santoso dan jurnal di atas, dari dalil Al-Qur'an di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 fondasi utama teologi Islam:

1. Tauhid

Seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah, sehingga manusia tidak memiliki hak mutlak untuk mengeksploitasi alam sesuka hati.

Tauhid sebagai dasar kesadaran ekologis dan memaknainya sebagai keterhubungan seluruh makhluk dalam “sistem yang ditetapkan oleh Allah.

Tauhid bukan sekadar konsep teologis, tetapi kerangka ontologis bahwa manusia, alam, dan Tuhan berada dalam satu poros kesatuan ciptaan (unity of creation).

2. Manusia sebagai Khalifah

Jurnal Risalah menegaskan bahwa konsep khalifah mengandung responsible stewardship, bukan dominasi. Dasarnya adalah ayat Al-Baqarah: 30. Berdasar ayat ini, maka manusia bukan penguasa mutla, melainkan pemegang amanah yang harus bertindak penuh kesadaran dan kehati-hatian.

Jurnal Ta’wiluna menjelaskan perdebatan malaikat dalam QS Al-Baqarah:30 dan menyebut bahwa khalifah bukan hanya mandat ekologis tetapi kemampuan untuk belajar, berkembang, dan menjalankan amanah secara bertanggung jawab

3. Amanah Ekologis

Amanah ekologis mengandung konsekuensi eskatologis, bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas tindakannya terhadap lingkungan. Amanah disebut sebagai landasan etika bahwa merusak alam berarti merusak harmoni ciptaan-Nya.

Rekomendasi Penerapan Prinsip Ekologi

Jurnal Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur'an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya, Hesty Widiastuty dan Khairil Anwar menjelaskan, kerusakan lingkungan muncul dari hilangnya pandangan sakral terhadap alam. Mereka mengutip Nasr bahwa krisis lingkungan pada hakikatnya adalah krisis spiritual yang berakar pada hilangnya pandangan sakral terhadap alam”.

Berikut ini rekomendasi prinsip Ekoteologi dalam Islam yang harus dijalankan:

1. Keseimbangan (Mizan)

Prinsip mizan mengikat manusia untuk menjaga harmoni ekologis. Mereka mengutip QS Ar-Rahman:7-9 sebagai dasar bahwa Allah “meletakkan timbangan agar manusia tidak melampaui batas”

Begitu pula, Alfadhil menjelaskan, mizan sebagai prinsip yang “menegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan ukuran tertentu” dan pelanggarannya berarti melanggar tatanan kosmik Ilahi

2. Larangan Kerusakan (Fasad fil-Ardh)

Makna QS Ar-Rum:41 sebagai peringatan ekologis: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan tangan manusia…” dan menjelaskan bahwa ayat ini “secara jelas menunjukkan dampak langsung perbuatan manusia terhadap kerusakan lingkungan”.

Fasad adalah pelanggaran terhadap harmoni kosmik serta bertentangan dengan konsep ihsan. Kerusakan lingkungan dianggap bukan hanya salah etis, tetapi dosa kosmik.

3. Larangan Pemborosan (Israf)

Mengutip QS Al-A’raf:31 dan menambahkan hadis Nabi: “Janganlah boros menggunakan air meski kalian berwudu di sungai yang mengalir.” Pemborosan adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip keseimbangan dan akar eksploitasi sumber daya berlebih

4. Hima dan Harim

Cikal Bakal Kawasan KonservasiHesty & Khairil mengulas konsep hima yang diterapkan Nabi sebagai bentuk konservasi komunal, "Tidak ada hima kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.” dan menyebutnya sebagai “model awal kawasan konservasi berbasis masyarakat”

5. Ihya’ al-Mawat: Revitalisasi Lahan Mati

Mengutip hadis: “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” konsep ini sebagai insentif teologis untuk restorasi ekologis dan agroforestri modern.

Pertanyaan Seputar Topik

1. Apa itu ekoteologi dalam Islam?

Ekoteologi dalam Islam adalah pendekatan teologis yang mengintegrasikan ajaran Islam dengan isu-isu lingkungan, yang memandang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang harus dijaga dan dilestarikan. Ekoteologi menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari keimanan dan amanah (tugas) sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi.

2. Apa yang dimaksud dengan eco teologi?

Ekoteologi adalah pendekatan teologis yang menggabungkan ajaran agama dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup, memandang alam sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki nilai spiritual dan etis. Konsep ini menekankan bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab iman umat beragama untuk merawat alam semesta sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan.

3. Apa itu ekologi Islam?

Konsep Pelestarian Alam Menurut Islam | Republika OnlineEkologi dalam Islam adalah sebuah konsep yang memandang alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT yang harus dijaga dan dilestarikan oleh manusia sebagai bentuk ibadah dan amanah. Ini mencakup tanggung jawab untuk mengelola alam secara bijaksana, menjaga keseimbangan ekosistem, dan tidak melakukan kerusakan, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan teladan Rasulullah SAW. Ekologi Islam juga dikenal sebagai ekoteologi, yang menekankan hubungan spiritual antara manusia, alam, dan Tuhan.

4. Apa itu konsep ekoteologi?

Ekoteologi adalah konsep yang menghubungkan agama dengan lingkungan, di mana menjaga kelestarian alam dipandang sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab umat beragama. Konsep ini menekankan bahwa ajaran keagamaan seharusnya mendorong dan menginspirasi tindakan nyata untuk melindungi lingkungan, seperti menjaga keseimbangan alam, mengurangi kerusakan, dan melestarikan sumber daya.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |