Liputan6.com, Jakarta - Tak pernah habis kisah-kisah unik dan menyentuh hati dari Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Dari cerita sederhana hingga kejadian luar biasa, semuanya merefleksikan ketulusan dan cinta beliau kepada rakyat kecil.
Salah satu kisah yang kembali mengemuka adalah saat Gus Dur mencoba membangun usaha pabrik kecap. Cerita ini bukan sekadar tentang usaha ekonomi, tetapi tentang nilai pengorbanan dan kepedulian tanpa batas terhadap sesama.
Di era 1980-an, sebelum menjadi tokoh nasional, Gus Dur menjalani hidup dengan sangat sederhana. Ia hanya memiliki satu mobil tua, yakni Citroën merah, yang ia sebut "sitrun merah".
Mobil itu bukan kendaraan mewah, tapi sudah seperti sahabat yang menemaninya dari satu pesantren ke pesantren lain, dari kampung ke kampung, menyampaikan dakwah dan ilmu.
Simak Video Pilihan Ini:
Geger Celeng Masuk Rumah dan Acak-Acak Barang di Banjarsari Sumbang Banyumas
Jual Mobil, Rencana Buat Pabrik Kecap
Dikutip Selasa (20/05/2025) dari tayangan video di kanal YouTube @kanalunik, kisah ini diceritakan ulang oleh para sahabat dan keluarga dekat Gus Dur, lengkap dengan nuansa haru dan kekaguman yang mendalam.
Saat itu, demi menafkahi istri dan keempat putrinya, Gus Dur bertekad untuk mulai berwirausaha. Ide yang muncul di benaknya sederhana, membangun pabrik kecap rumahan.
Untuk mewujudkan niat tersebut, ia rela menjual satu-satunya kendaraan yang dimilikinya, si sitrun merah. Mobil itu akhirnya laku dengan harga Rp3 juta—nominal yang cukup besar kala itu.
Uang hasil penjualan itu dimasukkan ke dalam amplop cokelat dan diserahkan kepada Gus Dur oleh seorang sahabatnya. Amplop itu diterima Gus Dur dengan senyum haru, seolah menyimpan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Namun, belum genap sehari berlalu, datanglah seorang kiai dari daerah yang membawa kabar pilu. Umatnya sedang kesulitan, tak punya biaya untuk mengurus kegiatan keagamaan dan bantuan sosial.
Uang Diserahkan ke Kiai, Pabrik Kecap Gagal
Tanpa ragu, Gus Dur langsung membuka amplop itu dan menyerahkan seluruh isinya kepada sang kiai. Tidak ada negosiasi, tidak ada penundaan, hanya keikhlasan.
Rencana pabrik kecap pun sirna. Modal habis, mobil telah terjual, dan harapan akan hidup lebih tenang kembali pupus. Semua diberikan demi membantu umat yang lebih membutuhkan.
Saat mendengar keputusan itu, istri Gus Dur, Ibu Sinta Nuriyah, hanya bisa bertanya lirih, “Lalu bagaimana rencana kita?” Tapi jawaban Gus Dur bukan dengan kata-kata, melainkan dengan ketenangan dan keyakinan.
Begitulah watak Gus Dur, yang selalu meletakkan kepentingan umat di atas keperluan pribadi. Bahkan saat ia tak punya apa-apa, ia tetap memberi.
Kisah ini menunjukkan karamoh Gus Dur yang tak hanya berupa kesaktian, tapi berupa kepekaan luar biasa terhadap penderitaan sesama. Sosoknya benar-benar hadir sebagai pelayan umat.
Gus Dur Wali yang Menyamar
Hartanya mungkin lenyap dalam sekejap, tapi rezekinya seolah tak pernah habis. Gus Dur tak pernah kekurangan sahabat, tak pernah kehilangan jalan keluar.
Ia tak sempat menikmati hasil dari usahanya sendiri, tetapi ia justru meninggalkan warisan keteladanan yang jauh lebih berharga bagi generasi setelahnya.
Cerita ini juga menjadi pengingat bahwa kadang, dalam kemiskinan lahiriah, seseorang justru memperlihatkan kekayaan spiritual yang tak ternilai.
Hingga kini, nama Gus Dur tetap harum. Ia dikenang bukan karena harta, tapi karena hati yang besar dan cinta yang tak pernah habis kepada rakyat.
Banyak orang menyebut Gus Dur sebagai wali yang menyamar. Sosok yang memberi bahkan saat dirinya sendiri tak punya apa pun lagi.
Bagi umat Islam dan bangsa Indonesia, kisah-kisah seperti ini memperkuat keyakinan bahwa keberkahan bukanlah soal jumlah, tapi soal keikhlasan.
Dan Gus Dur, dalam setiap langkah hidupnya, telah menunjukkan bahwa kekuatan terbesar adalah ketika seseorang tetap memilih untuk memberi, walau harus kehilangan yang terakhir dimilikinya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul