Serba-serbi Film Pengepungan di Bukit Duri: Potret Distopia 2027

4 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar mengajak penonton menyelami suasana yang penuh ketegangan, kekerasan, dan kegelapan. Berlatar tahun 2027, film ini menyajikan gambaran tentang kehancuran suatu bangsa akibat sejarah kekerasan yang tak pernah terselesaikan.

Tokoh utama, Edwin (diperankan oleh Morgan Oey), adalah seorang guru pengganti keturunan Tionghoa yang menjalani hidupnya dengan penuh kewaspadaan. Ia menyadari bahwa identitas etnisnya bisa menjadi sumber ancaman. Sebuah topi sederhana menjadi alat perlindungan di tengah dunia yang kacau.

Indonesia pada 2027 digambarkan sebagai negeri distopia, bukan karena teknologi canggih atau serangan luar angkasa, melainkan karena luka sejarah yang belum pernah benar-benar disembuhkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesehariannya, Edwin menyaksikan Jakarta yang telah hancur, gelap, kumuh, dan dipenuhi coretan kebencian serta bahasa kekerasan. Upaya-upaya damai seperti demonstrasi, poster ajakan berdamai, dan slogan rekonsiliasi tak mampu mengatasi hiruk-pikuk rasisme, makian kasar, lemparan batu, dan kekerasan terbuka yang terjadi di ruang publik.

Adegan Aksi 95 Persen Tanpa Pemeran Pengganti

Film Pengepungan di Bukit Duri menyajikan lebih dari sekadar aksi mendebarkan. Menariknya, sebagian besar adegan aksi dalam film ini dibawakan langsung oleh para aktor tanpa melibatkan pemeran pengganti atau stuntman. Hanya segelintir adegan dengan risiko tinggi yang menggunakan stuntman demi alasan keamanan. “Sebanyak 95 persen adegan aksi dilakukan sendiri oleh para pemain,” ujar Joko Anwar setelah pemutaran film pada Kamis, 10 April 2025, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Joko Anwar menekankan bahwa Pengepungan di Bukit Duri bukanlah film aksi dalam arti tradisional. Meskipun film ini memuat adegan-adegan kekerasan, Joko memastikan tidak ada unsur bela diri dalam koreografinya. “Semua gerakan dirancang seolah-olah para karakter sedang berjuang untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Alih-alih menampilkan pertarungan ala seni bela diri, kekerasan dalam film ini mencerminkan ketegangan emosional dan tekanan sosial yang dihadapi para tokohnya. Gerak tubuh para karakter bukan sekadar serangan, melainkan juga wujud dari keputusasaan, amarah, dan dorongan untuk tetap hidup. “Setiap adegan aksi dalam film ini sebenarnya juga bagian dari drama. Unsur aksinya menyatu dengan elemen dramatik,” kata Joko.

Pemantik Diskusi Isu Sosial di Indonesia

Menurut Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri bukan dibuat untuk sekadar menghibur atau memberikan ketegangan khas film aksi. Ia justru menyelipkan pesan agar masyarakat berani menghadapi dan mendiskusikan isu-isu sosial yang selama ini kerap dihindari. “Tujuan kami adalah agar pesan yang ingin disampaikan bisa memicu percakapan yang lebih luas di tengah masyarakat,” ungkap Joko.

Ia menggambarkan situasi dalam film sebagai gambaran nyata dari kemungkinan yang bisa terjadi jika Indonesia terus menghindari perbincangan penting. “Kita sering menjauhi topik-topik sulit seperti trauma, kekerasan, dan ketimpangan sosial. Padahal, luka-luka itu tidak akan sembuh hanya dengan mengabaikannya,” jelasnya.

Film ini menjadi kritik terhadap kecenderungan bangsa yang hidup dalam penyangkalan, di mana banyak persoalan dianggap tuntas hanya karena tidak dibicarakan. Joko juga menyoroti kontradiksi dalam masyarakat Indonesia yang kerap membangun citra diri yang tak sesuai dengan kenyataan. “Kita merasa religius, tapi korupsi tetap merajalela. Kita bangga dianggap ramah, tapi tidak bisa menerima perbedaan. Kita membuat bayangan ideal tentang diri kita sendiri untuk menutupi realitas. Inilah yang ingin dibongkar, dan film ini mencoba menyentil kesadaran itu,” pungkasnya.

Diangkat dari Keresahan Sang Sutradara Joko Anwar

Film kesebelas Joko Anwar ini lahir dari kegelisahan pribadinya terhadap berbagai persoalan sosial yang diangkat dalam cerita. Dalam wawancara eksklusif bersama Tempo di kawasan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Kamis, 30 Januari 2025, Joko mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah isu yang menurutnya sangat mendesak untuk disoroti. Ia menyinggung rendahnya penghargaan terhadap profesi guru, meningkatnya kekerasan di kalangan anak muda, serta masih kuatnya praktik rasisme di Indonesia—isu-isu yang menjadi bahan refleksi dalam film terbarunya.

Akting Pemeran Patut Diapresiasi

Peran Morgan Oey sebagai Edwin menjadi salah satu penampilan terkuatnya di dunia film. Meskipun menjadi tokoh utama, Edwin tidak digambarkan sebagai pahlawan, melainkan sebagai sosok guru yang sangat manusiawi—dipenuhi rasa takut, frustrasi, dan bertahan hidup hanya dengan mengandalkan insting. Morgan berhasil menyalurkan tekanan batin dan ketegangan psikologis yang menjadi inti dari konflik dalam film.

Sementara itu, penampilan Omara Esteghlal sebagai Jefri—siswa yang menjadi pemicu kekacauan di SMA Duri—juga patut mendapat apresiasi. Melalui aktingnya, Jefri tidak hanya muncul sebagai pelaku kekerasan, tetapi juga sebagai gambaran dari seorang korban yang dibentuk oleh lingkungannya. Dalam beberapa adegan, tatapan mata Jefri lebih kuat dari kata-kata; menampilkan amarah, dendam, kesedihan, dan rasa kehilangan.

Untuk proyek ini, Joko Anwar turut melibatkan banyak aktor muda berbakat. Di antaranya adalah Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Farandika, Raihan Khan, Sheila Kusnadi, Millo Taslim, dan Bima Azriel. Mereka tampil total, termasuk dalam adegan-adegan aksi intens hingga kekerasan yang menuntut keberanian akting.

Aisha Shaidra dan Adinda Jasmine ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Kiki Narendra Bewok Pesanan

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |