Liputan6.com, Jakarta - Pandangan umum tentang tanggung jawab dosa dalam keluarga masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Banyak yang meyakini bahwa dosa istri dan anak akan secara otomatis ditanggung oleh suami atau ayahnya. Benarkah demikian?
Pemahaman seperti ini sering kali berkembang tanpa rujukan yang jelas. Sebagian kalangan merasa tenang karena merasa ada orang lain yang akan menanggung beban dosa mereka. Padahal, Islam menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya masing-masing.
Dai kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya mencoba meluruskan kesalahpahaman ini dalam sebuah kajian yang menjawab langsung pertanyaan jamaah. Dalam penjelasannya, ia menekankan bahwa dosa tidak serta-merta dialihkan kepada orang lain, kecuali jika ada andil dalam perbuatan dosa tersebut.
Buya Yahya menyatakan bahwa tidak ada konsep dalam Islam yang menyebutkan bahwa dosa istri sepenuhnya ditanggung oleh suami, atau dosa anak sepenuhnya ditanggung oleh ayah. Namun, jika suami atau ayah turut berperan dalam kelalaian atau menjadi penyebab kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan bagian dari dosa tersebut.
Dikutip dari video tayangan di kanal YouTube @albahjah-tv, Selasa (22/4/2025), Buya Yahya menjawab tuntas pertanyaan jamaah terkait tanggung jawab moral dan spiritual dalam lingkup rumah tangga.
Dalam tayangan tersebut, Buya Yahya menjelaskan bahwa jika seorang ayah membelikan anak alat-alat elektronik tanpa membimbing penggunaannya, lalu alat itu digunakan untuk maksiat, maka sang ayah ikut andil dalam dosa tersebut. Bahkan jika saat itu sang ayah sedang berada di tanah suci untuk umroh atau sedang sholat tahajud.
Simak Video Pilihan Ini:
Duel Berdarah 2 Pemuda di Ruang Karaoke, 1 Tewas
Dosa Istri Ditanggung Sepenuhnya Suami?
Ia menegaskan bahwa dosa itu datang karena adanya kelalaian dalam mendidik. Ketika orang tua tidak memberikan pendidikan yang baik, atau membiarkan anak tumbuh tanpa pengawasan, maka tanggung jawab itu tetap melekat.
Namun, berbeda halnya jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik anak, membimbing, dan mengingatkan, tetapi sang anak tetap memilih jalan yang salah. Dalam kondisi seperti itu, orang tua tidak menanggung dosanya.
Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menampik anggapan bahwa dosa istri sepenuhnya ditanggung oleh suami. Menurutnya, itu adalah pemahaman keliru yang kerap dijadikan alasan oleh sebagian pihak untuk bermaksiat.
Ia bahkan menyebut bahwa anggapan tersebut bisa menjadi celah bagi istri yang malas atau sengaja bermaksiat dengan dalih dosa akan dibebankan pada suaminya. Padahal, setiap dosa tetap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing.
Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui perbuatan buruk istrinya namun memilih untuk diam. Sebagai pemimpin dalam rumah tangga, suami memiliki tanggung jawab moral untuk membimbing dan mengingatkan istri.
Kalau suami sudah mengingatkan berkali-kali dengan sungguh-sungguh, dan sang istri tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur dari suami. Artinya, tidak ada lagi andil karena ia sudah menjalankan fungsinya sebagai imam.
Buya Yahya mencontohkan hal ini dengan relasi antara guru dan santri. Seorang guru yang memiliki banyak santri tidak otomatis menanggung dosa para santri, kecuali jika ia membiarkan pelanggaran terus terjadi tanpa tindakan.
Karena itu, dalam pondok pesantren ada peraturan dan hukuman. Tujuannya adalah agar setiap santri bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mencoreng peran gurunya sebagai pembimbing.
Jangan Cuek Kepada Perilaku Istri dan Anak
Penjelasan tersebut sekaligus menekankan pentingnya peran pengawasan dalam keluarga dan lembaga pendidikan. Bukan hanya soal tanggung jawab pribadi, tapi juga tentang peran dalam mencegah kemungkaran.
Buya Yahya menyarankan agar para suami dan orang tua tidak cuek terhadap perilaku istri dan anak-anak. Jika memang melihat kemaksiatan, maka harus segera diingatkan. Diam berarti ridha, dan ridha atas kemaksiatan adalah bagian dari dosa.
Namun, ketika sudah menjalankan tugas dengan baik—mendidik, membimbing, dan mengingatkan—lalu tetap ada yang menyimpang, maka ia terbebas dari tanggung jawab dosa tersebut.
Setiap individu tetap bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Buya Yahya menyampaikan bahwa ini adalah prinsip keadilan dalam Islam yang tidak dapat diganggu gugat.
Maka, tidak benar jika ada anggapan bahwa seorang istri bisa bebas berbuat dosa karena merasa dosanya akan ditanggung oleh suaminya. Islam tidak mengajarkan kemalasan dalam bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Buya Yahya juga menutup dengan pesan bahwa pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab secara tuntas. Agar umat tidak terjebak dalam pemahaman yang salah dan akhirnya meremehkan dosa.
Dengan pemahaman yang benar, keluarga Muslim diharapkan bisa saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain dalam kebaikan. Setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam menciptakan rumah tangga yang diridhai Allah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul